Oleh: Zulkarnain Siregar

Di dalam masyarakat yang praktis, posisi filsafat terabaikan, bahkan filsafat menjadi barang yang “angker”. Mengapa? Filsafat memang selalu bergerak di alam pemikiran dan ‘meminta’ setiap orang yang berkutat di dalamnya untuk lebih sedikit “tekun”. Alam pemikiran dalam pandangan filsafat materialisme sendiri merupakan hal-hal yang immaterial. Dalam pandangan filsafat fenomenologi, alam pikiran masih dianggap sebagai gejala. Dua pandangan di ataslah yang menjadi causaprima. Lebih mudah lagi mengatakan bahwa dengan berfilsafat, nilai “fee” seseorang tidak bertambah. Kebahagian fisik tak dapat diperoleh langsung darinya.

            Filsafat atau falsafah –dalam intonasi lain- merupakan term-term dari ‘philos’ dan ‘sophia’. Kedua term ini bersumber dari Bahasa Yunani. Philosophia mengajak orang menjadi bijaksana dan arif. Kalau dihubungkan dengan konteks-konteks kehidupan yang praxis, tampaknya tidaklah begitu sulit dipikirkan. Sebab filsafat memang bukan bagian terapan-terapan, tetapi merupakan dasar-dasar terapan itu sendiri dengan refleksinya. Dengan kata lain filsafat tidak ‘mencampuri’ kerja terapan, tetapi filosofis terapan itulah yang dibangunnya.

            Ada beberapa hal yang menyebabkan orang susah menjelaskan filsafat, karena 1) melepaskan filsafat dari kehidupan, 2) memisahkan filsafat dari ilmu, 3) efisiensi dari filsafat. Pemisahan dan kalkulasi manfaat filsafat tampaknya lebih identik dengan alam berpikir modernisme yang salah satunya ‘mempercayai’ bentuk atau strukturlah yang solid dan valid. Berpikir seperti disebutkan terakhir dalam peradaban teknologi dan otomatisasi menjadi lebih penting sesuai dengan asumsi filsafat-filsafat sebagaimana pula yang mengiringinya. Filsafat berfungsi memeriksa asumsi di atas.

            Seorang penulis Romawi, Cicero (106 – 43 SM) pernah menyatakan bahwa orang yang pertama kali memakai kata filsafat adalah Pytagoras. Pytagoras menggunakan kata lain untuk menyatakan reaksinya terhadap orang-orang yang berada dalam kelompok cendekiawan yang pada masa itu mengklaim bahwa mereka adalah ‘ahli pengetahuan’. Filosof pra-Socrates ini cenderung tidak begitu yakin dengan apa yang dilakukan oleh para ‘ahli pengetahuan’ itu terhadap pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang berkaitan dengan masyarakatnya. Dalam pandangan filsafatnya, dia meletakkan ilmu sebagai “sesuatu yang lengkap”. Dengan kata lain: ilmu tidak hanya untuk ilmu tapi ilmu untuk kepentingan umat manusia. Asumsinya orang-orang yang mengandalkan ilmu “di luar” dari konsep etis dan humanis.

            Filsafat hadir dalam kehidupan selalu juga disalahpahami. Filsafat bukanlah gejala “pikiran tandingan” atau “menandingi” pikiran-pikiran yang diangap telah mapan. Dalam pikiran yang telah mapan sekali pun ada ‘bersemayam’ filsafat, jika dilacak secara esensial. Filsafat tidak memerlukan tempat yang khusus dalam ‘arena kehidupan’ atau ‘arena intelektual’: termasuk juga waktu dan ruang. Namun kalau dibutuhkan berada sebagai sintesa atau juga hipotesa. Ada filsafat kehidupan yang mencangkup : filsafat kebebasan, filsafat berdagang, filsafat bercinta, filsafat berkata dan filsafat berfikir. Juga ada filsafat ruang, filsafat waktu, filsafat manusia, filsafat ilmu dan lain-lain. Namun apakah sebuah subyek filsafat itu “mengoreksi atau menandingi” obyeknya kalau demikian, filsafat menjadi begitu “sederhana” maksudnya.

            Dalam Fundamental Questions in Philosophy, yang disusun oleh Stephen Koerner terdapat klarifikasi filsafat yang bunyinya demikian : “Pemikiran filsafat tidak akan berhenti apabila pemikiran yang non-falsafi tidak mengalami hal yang sama juga.” Kalau dicermati pengertian di atas maka dapat dipahami beberapa hal, antara lain: 1) pemikiran filsafat ada, pemikiran non-filsafat ada. 2) pemikiran filsafat tidak ada apabila pemikiran non-filsafi juga ada. 3) berhenti filsafat apabila empirisme juga mengalami hal yang sama. Anologinya, berfilsafat adalah proses kerja yang membutuhkan subyek dan obyek. Bila kita sampai pada pengertian akhir ini, filsafat ternyata “diperlukan”?

Kontribusi

            Perlu atau tidaknya filsafat bagi kehidupan manusia bergantung pada pemahaman hakikat terhadap fenomena. Fenomena itu tidak hanya wujud-wujud yang abstrak, tetapi semua benda yang dapat diintrumentasikan melalui indra. Kalau kita dapat mengerti tentang geologi, ekologi, biologi, ilmu-ilmu alam dan ekonomi serta hukum hal itu disebabkan kita mempercayai empiri yang mendasari seluruh konsep yang berdiri di baliknya. Mengapa hakikat semua ilmu di atas tidak “dilacak” melalui filsafat. Dengan menggunakan filsafat sebagai instrumentasinya, maka ilmu-ilmu yang sebenarnya secara strukturnya berdiri pada tempatnya masing-masing merupakan rangkaian yang menjalin satu cakupan. Melalui pandangan filsafat kita mengetahui proses kerja ilmu dan apa yang menjadi dasar pembentukan struktur ilmu.

            Dalam berpikir, dikenal logika. Logika adalah upaya berpikir yang mengarah ke struktur dan tekstur yang lebih benar menurut ukuran tertentu. Misalnya: Kalau pembangunan membutuhkan manusia-manusia yang cerdas dengan sumber daya manusianya yang lebih baik, maka logikanya, biaya yang dibutuhkan untuk mencerdasakan dan meningkatkan sumber daya manusia yang dibutuhkan pembangunan itu harus lebih besar dari semua sektor yang tidak relevan dengan usaha-usaha itu. Dalam hal ini sektor pendidikan menjadi penting untuk diperbesar anggarannya. Namun kalau anggaran diperbesar, apakah pencerdasan dan peningkatan SDM sudah terjamin baik? Usaha ini akan berjalan benar apabila akibat-akibat pencerdasan dan usaha meningkatkan sumber daya manusia itu dapat diterima oleh pihak-pihak tertentu. Tampaknya logika seperti ini yang lebih ‘bermain’ dibandingkan dengan logika yang ideal. Adanya filsafat menelaah premis-premis yang di’asumsi’kan keliru, merekonstruksikan dan mengevaluasi. Sampai sejauh ini filsafat kembali mempertanyakan kekuatan logika dari berfikir logis menurut asumsi di atas.

            Dalam hal ini tampak filsafat tidak bergerak pada tingkat kalkulasi yang sangat matematis, misalnya: jika dalam suatu masyarakat kebutuhan ilmu dan teknologi menduduki peringkat 8 noktah, sementara kekuasaan hanya 2 noktah, maka masyarakatnya lebih percaya kepada ilmu (lengkap dengan kebenaran-kebenaran yang menurut ilmu) dari pada kekuasaan. Ilmu menjadi ‘penguasa’ atau kekuatan masyarakat (knowledge is power). Sebaliknya jika kekuasaan menduduki tingkat 8 noktah, ilmu hanya 2 noktah, maka logika yang deduktif adalah masyarakat lebih percaya pada kekuasaan dari pada ilmu (lengkal dengan gejala post power syndrome-nya). Filsafat bukan hanya menyeimbangkan kedua subyek tersebut dalam bentuk evaluatif, tetapi menarik keduanya ke porsi yang hakiki “kekuasaan dan ilmu sama pentingnya, tetapi bukan kepentingannya yang hanya utama tetapi proses yang berlaku dari keduanya itu yang dapat dipahami, misalnya akan terjadi tarik-menarik antara keduanya dalam pikiran manusia.

            Filsafat tidak wajib dipandang secara ‘hitam-putih’ terutama untuk  semua persoalan kehidupan atau persoalan keilmuan. Namun dapat dikatakan apa yang akan dipersoalkan, bagaimana persoalan, untuk apa dan seterusnya, tampaknya melalui pendekatan filsafat dapat dipa-hami secara akurat. Diamenjadi “kekuatan besar yang lain” dalam setiap pemikiran. Akan tetapi bukan sebagai “obat manjur” dalam berpikir. *) Penulis adalah Pendidik, Relawan Pohon pada Yayasan Budaya Hijau Indonesia