Pagi itu kukayuh pedal menyusuri sepi pagi yang dingin. Kabut masih menggantung di depanku. Bebutir bening embun tampak berbaris di tangkai rimbunan daun ubi kayu. Uap hangat masih sempat keluar dari mulut ketika menghirup udara pagi yang segar. Kanan kiri jalan tampak pematang dan ladang orang-orang kampung di Paya Bakung.

Pagi ini aku hendak mengunjungi sahabatku buruh yang bekerja di perkebunan tertua di Deli, yaitu Kebun Tembakau Deli yang tersohor itu di Dunia. Kebun ini terletak di Bulu Cina dan Pasar X Kecamatan Hamparan Perak, Deli Serdang. Jejak hujan malam tadi masih membekas di aspal jalanan menuju ke perkebunan. Kusempatkan turun minum sejenak sebelum masuk ke jalan tanah merah areal perkebunan. Bangsal-bangsal tua terlihat tegak, kokoh dan tangguh. Daun-daun tembakau yang hijau tegantung rapi di para-para bagian dalamnya.

Sesampai di salah satu bangsal, kuparkirkan sepeda di bagian dalam sembari memanggil sahabatku yang bekerja sebagai penjaga bangsal dan penanak api berdiang di dalamnya untuk pengasapan daun tembakau.

Pertemuan yang kesekian kali ini membuatku lebih banyak bertanya tentang mereka dan pekerjaan yang digeluti selama menjadi buruh perkebunan. Tentang bibit, penanaman, perawatan, panen hingga pengeringan melalui penyimpanan di dalam bangsal, juga pengasapannya.

Sungguh jawaban mereka itu memberi informasi yang baik untukku. Setidaknya dari semangat, motivasi dan cara bertahan untuk tetap bisa menghidupi keluarga itulah yang selalu menjadi renungan buatku pribadi. Renungan-renungan itu tergambar dalam ungkapanku di bawah ini:

[1]
Liyan

seraut malam kutelusuri dalam diam
di larik-larik puisi, di alinea wacana
mencari riwayat masa lalu yang hilang di batas waktu, yang terbakar api kuasa. amuk. negeri para liyan

ada setitik cahaya yang terang mewarnai pekat gelap sepanjang lorong pengap, para gelandangan
bergelimpangan di kolong jembatan
dilapisi kardus-kardus bekas

dari pabrik-pabrik yang dikerjakan tangan para buruh, buruh-buruh yang dibayar murah walau tak kenal lelah, walau tak kenal menyerah untuk menghidupkan anak bini di rumah

rumah beratap nipah dan tiang-tiang
aur yang menjuntai di sepanjang sungai merawat tebing yang tinggi
dari retak dan runtuh. tanah yang ramah, air yang melimpah, gemah ripah

anak-anak semesta lahir dan hadir tanpa rasa kelas, rasa ras dan rasa
bahasa yang culas walau hidup di antara karang-karang dan batu cadas
hati dan jiwa mereka lepas bebas

[2]
Untuk Sesosok Negeri

dari tangan-tangan mereka
nadi negeri berdenyut
mesin-mesin hidup
pasar-pasar berharga
dimana nafas-nafas itu?

dari tetes keringat mereka
berdiri tegak tiang pancang
gedung-gedung menjulang
memamerkan keperkasaan
lalu, mengapa angkuh padanya?

tanpa otot-otot mereka
modal tak sangat berarti
ilmu tersimpan dalam lemari
asing dengan segala teknologi
mengapa korupsi yang dihargai?

mayday
1515
Oppungleladjingga