Oleh : Muhammad Mukhlis Mahasiswa Pascasarjana UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan

Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (1991) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di pasar tenaga yang terorganisasi. Agar tetap dapat bertahan hidup (survive), para migran yang tinggal dikota melakukan aktifitas-aktifitas informal (baik yang sah dan yang tidak sah) sebagai sumber mata pencaharian mereka. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan daripada menjadi pengangguran yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan tetapi rendah dan tidak tetap.

Beberapa jenis “pekerjaan” yang termasuk didalam sektor informal, salah satunya adalah pedagang kaki lima, seperti warung nasi, penjual rokok, penjual koran dan majalah, penjual makanan kecil dan minuman, dan lainlainnya. Mereka dapat dijumpai dipinggir-pinngir jalan, di pusat-pusat kota yang ramai akan pengunjung. Mereka menyediakan barang-barang kebutuhan bagi golongan ekonomi menengah ke bawah dengan harga yang dijangkau oleh golongan tersebut. Tetapi, tidak jarang mereka berasal dari golongan ekonomi atas juga ikut menyerbu sektor informal.

Dengan demikian, sektor informal memiliki peranan penting dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan perkotaan, karena sector informal mampu menyerap tenaga kerja (terutama masyarakat kelas bawah) yang cukup signifikan sehingga mengurangi problem pengangguran diperkotaan dan meningkatkan penghasilan kaum miskin diperkotaan. Selain itu, sektor informal memberikan kontribusi bagi pendapatan pemerintah. Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang baik dapat mengakibatkan ketidak teraturan tata kota. Sebagaiaman kita ketahui, banyak pedagang kaki lima yang menjalankan aktifitasnya ditempat tempat yang seharusnya menjadi public space. Trotoar yang digunakan untuk berjualan dapat mengganggu para pejalan kaki, sering kali kehadiran pedagang kaki lima tersebut mengganggu arus lalu lintas karena para konsumen pengguna jasa memarkirkan kendaraannya dipinggir jalan. Ketidak teraturan tersebut mengakibatkan public space kelihatan kumuh sehingga tidak nyaman lagi untuk bersantai ataupun berkomunikasi.

Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena setelah pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjual-belikan, padahal mereka berjualan dilokasi public space yang merupakan milik pemerintah. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.

Perda Nomor 41 Tahun 2003

Peraturan Daerah nomor 41 tahun 2003 tentang penggunaan dan peruntukan jalan di latar belakangi bahwa jalan di kota Padangsidimpuan banyak dipergunakan diluar kegiatan dan kepentingan lalu lintas seperti berjualan, pesta, hajatan, dan penimbunan barang dan lain-lain yang mengakibatkan terganggunya arus lalu lintas. Bahwa hakikatnya daerah milik jalan dan badan jalan tidak diperbolehkan dipergunakan selain untuk kepentingan lalu lintas. Untuk kelancaran arus lalu lintas dan berfungsinya jalan sebagaimana mestinya dirasa perlu diatur dan ditetapkan didalam suatu Peraturan Daerah.

Selain itu penggunaan dan peruntukan jalan di kota Padangsidimpuan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, dimana pengunaan dan peruntukan jalan masih saja digunakan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Misalnya para pedagang kaki limayang menggunakan trotoar dan badan jalan di kawasan Jalam Thamrin Patrcie Lumumba untuk berjualan. Karena banyaknya pedagang kaki lima yang berjualan mengakibatkan kemacetan dan peruntukan jalan disalahgunakan.

Akibat dari pelanggaran penggunaan dan peruntukan jalan kawasan Kantor Pos dan Bank BNI dimana banyaknya becak yang terparkir dan ditambah lagi pedagang kaki lima yang bejualan di badan jalan, karena jalan tersebut hanya satu arah membuat arus lalu lintas di kawasan tersebut tidak lancar. Daerah lain yang sering melakukan penyimpang terhadap peraturan daerah nomor 41 tahun 2003 yaitu Simpang 4 Jalan Thamrin Patricie Lumumba, Simpang 3 Jalan Thamrin Arah Rajawali, Simpang 3 Jalan Mongonsidi, dan Jalan Ujung Thamrin, di kawasan tersebst juga sering terkena macet karena masalah-masalah tersebut Dinas Perhubungan harus melaksanakan penertiban penggunaan dan peruntukan jalan agar daerah-daerah yang dimaksudkan dapat berfungsi sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan daerah nomor 41 tahun 2003.

Solusi

  1. Surat Edaran No 511.1/2657/2022

Dalam rangka terciptanya ketertiban dan kenyamanan serta normalisasi fungsi jalan di Kota Padang Sidempuan

  1. Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Non Aparatur Sipil Negara (Non-ASN) di lingkungan pemerintahan Kota Padang Sidempuan tidak diperkenankan berbelanja pada Pedagang Kaki Lima yang berada pada pelataran toko, trotoar dan bahu jalan di wilayah Kota Padang Sidempuan khususnya Jalan M.H. Thamrin dan sekitarnta
  2. Untuk berbelanja pada pasar-pasar yang telah disediakan pemerintah yaitu:
  • Pasar Pajak Batu/Pajak Buah
  • Pasar Sangkumpal Bonang
  • Pasar Raya Kodok
  • Pasar Rakyat Mahera
  • Pasar Tangsi Manunggang
  • Pasar Saroha Padangmatinggi
  • Pasar Lubuk Raya dan
  • Pasar-pasar yang mendapatkan izin operasional dari Pemerintah.
  1. Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Non Aparatur Sipil Negara (Non-ASN) yang berbelanja pada tempat-tempat yag tidak diperkenankan akan dilakukan tindakan disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Agar Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Lurah dan Kepala Desa di lingkungan Pemerintah Kota Padang Sidempuan menyampaikan dan mensosialisasikan pada keluarga dan lingkungan tempat kerja masing-masing
  3. Pendataan Pedagang Kaki Lima

Pendataan pedagang kaki lima, merupakan salah satu solusi kepada pedagang agar pedagang tersebut mendapatkan tempat yang layak sesuai dengan jenis dagangan yang ia jual, ini dijadikan suatu formula agar nantinya para pedagang tidak lagi melanggar perda peraturan daerah nomor 41 tahun 2003, tentang berjualan di trotoar ataupun badan jalan

  1. Era Teknologi 5.0, Sebagai Solusi Dimasa Mendatang

Society 5.0 atau Masyarakat 5.0 adalah konsep teknologi masyarakat yang berpusat pada manusia dan berkolaborasi dengan sistem teknologi berupa IoT (Internet of Things) dan AI (Kecerdasan buatan) untuk menyelesaikan masalah sosial yang terintegrasi pada ruang dunia maya dan nyata.

Dalam Masyarakat 5.0, orang, benda, dan sistem semuanya terhubung di dunia maya dan hasil optimal yang diperoleh oleh AI melebihi kemampuan manusia diberi feedback ke ruang fisik. Proses ini membawa nilai baru bagi industri dan masyarakat dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin.

Di Masyarakat 5.0, nilai baru yang diciptakan melalui inovasi akan menghilangkan kesenjangan regional, usia, jenis kelamin, dan bahasa dan memungkinkan penyediaan produk dan layanan yang dirancang secara halus untuk beragam kebutuhan individu dan kebutuhan laten. Dengan cara ini, akan mungkin untuk mencapai masyarakat yang dapat mempromosikan pembangunan ekonomi dan menemukan solusi untuk masalah sosial.

Pemerintah dalam hal ini, harus lebih memperhatikan kemaslahatan masyarakat, agardalam suatu kebijakan itu tidak menimbulkan polemic bagi masyarakat, serta pemerintah Kota Padangsidimpuan dituntut untuk lebih cepat dalam menghasilkan SDM yang unggul. Masyarakat Indonesia khususnya Masyarakat Kota Padangsidimpuan, harus cepat dalam menangkap peluang yang diberikan Era Teknologi 5.0, sebagai solusi tepat untuk menghindari permasalahan sosial, khususnya permasalahan tempat berdagang, hal ini, dapat terjadi jika SDM dan Pemerintah bekerja sama untuk menyabut Era Teknologi 5.0.