Aku suka mengayuh pedal sepedaku ke pematang sawah dan ladang. Perjalanan ini penuh manfaat. Mereka para petani dan buruh tani tempat aku singgah istirahat ternyata tak hanya jadi sahabat. Mereka begitu dekat sehingga sudah seperti kerabat. Dari banyak pertemuanku dengan mereka aku seperti terkenang ketika bangun tengah malam melihat air di setiap pematang dari pancuran. Kadang di tengah jalan air dihambat orang lain agar masuk ke petak pematangnya. Begitulah rutinnya penjagaan air ketika pohon padi sedang tumbuh. Bila lalai saja satu malam. esoknya bakal keringlah sawah. Tak dapat pembagian air. Padi sawah, jagung dan ubi sepertinya buatku tanaman pokok ini menjadi khas negeri yang agraris ini. Bahkan salah satunya menjadi simbol dalam sila Pancasila, yakni padi dan kapas. Namun ketiga tanaman ini menjadi menarik bagiku karena letak tempat berbuahnya yang juga melambangkan tiga lapis dunia kehidupan (atas, tengah dan bawah). Kalau dalam ungkapan batak disebut dengan banua ginjang, banua tonga dan banua toru. Hal ini yang menginspirasi sajak pendek di bawah ini.

Padi, Jagung dan Ubi Kayu

dari rahim ibu negeri
lahirlah anak-anak yang bernama
padi, jagung dan ubi kayu
di sepanjang pematang dan ladang
berbatas pepohon pinang
bangau – bangau berkaki tunjang terbang rendah

dari beningnya mata air gunung
angin menebar benih ikan
bersembunyi di rumpun padi
padi berbuah lebat di pucuk-pucuk tangkai
menguning, dituai dan digiling
sempat jadi makanan pokok, selain sagu

berbuahlah duhai di tempat yang berbeda
sebagai tanda budi daya
tumbuh di tempat yang beraneka
tanah berbukit dan dataran rendah
sawah dan lembah

kubaca sebagai pesan semesta
tunduk dalam sunnatullah
lapisan nan tiga
dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah
padi, jagung dan ubi kayu

saat musim memanen tiba
ngilu suara alu riuh bertalu-talu
wangi emping padi muda terasa
doa segala usaha dan kerja
di sepanjang kepulauan nusantara

20Ramadhan1438H
Oppungleladjingga
*

Sepedaku: “Puisi.”

dengan puisi,
setiap hari aku cepat bangun pagi
telusuri lorong-lorong diksi
menuju pematang dekat kali
yang bertabur imaji:
di langit berbilang warna pelangi
kepak bangau putih yang menari-nari
kesana kemari
hamparan petak padi
yang masih hijau sekali
bunyi air yang mengalir dari hulu kali
dan riuh gemericik pecah
di pancuran bambu, tadi

pedalku tak terasa penat
walau puisi kuajak di jalan tanjak
terus mendayung,
teruslah mendayung,
roda berjejak memberi tanda-tanda
sepanjang jalan setapak
nafas mulai sesak
kayuh mulai berjarak
tanjak hampir ke puncak

dengan puisi,
setiap pagi jadi terbiasa aku mengaji
telusuri makna-makna hati,
yang mulai pergi
di jalan-jalan sepi, yang dingin sekali
bersama embun aku membaca pagi
bersama daun-daun memberi arti
hidup memang hanya sekali
mengapa harus menyiksa diri dengan iri?
mengapa harus menyakiti hati
dengan dengki?

dengan puisi,
aku bersepeda setiap minggu pagi
bukan mencari gaya bersepeda masa kini
bukan mencari sensasi di jalanjalan yang penuh onak atau duri
bukan karena janji bersama atau
pergi sendiri

tetapi,
karena puisi.
karena puisi,
aku memberi tanda-tanda
pada setiap diksi
aku memberi suara-suara
pada setiap pungtuasi
aku menuliskannya pada larik-larik
seuntai janji:
“Esok masih ada puisi
dari sepeda yang kudayung
setiap Minggu pagi.”

Deli, 04112014
Oppungleladjingga