Oleh: Zulkarnain Siregar

Menyebut Nehru sama artinya menelusuri sebuah kesadaran. Pandit Jawaharlal Nehru (14 Nopember 1889- 27 Mei 1964) adalah sebuah nama yang fenomenal. Mengenang atau mendiskusikan alam pikirnya, berarti “merayakan” sebuah fenomena. Barangkali dia tidak dapat hanya dipandang sebagai negarawan India atau setidaknya menjadi sebab kebangkitan nasionalisme bangsa itu. Yang pasti Nehru adalah gejalanya. Siapapun yang hendak menelusuri kembali perjalanan bangsa tersebut tidak dapat tidak akan pasti bertemu dengan jejak langkahnya. Nehru adalah sebuah gejala yang kuat. Sosok dan jejaknya adalah bekas-bekas yang terguret jelas dan dalam pada hati setiap ‘pembacanya’, terutama karya-karyanya yang mampu; kapan dan dimana saja terserak. Hitoria Magistra Vitae, adalah prinsip yang mengatakan bahwa sejarah adalah guru kehidup-an Prinsip yang merupakan pengalaman ‘keguruan’ dalam alam berfikir dengan menariknya ke dalam proses didaktis.


Ada dua cara untuk dapat memahami seseorang. Pertama, mengenal dirinya dengan cara memahami apa yang dilakukannya. Kedua, mengatahui apa yang dilakukannya lewat berkenalan dengan jalan pikirannya. Nehru memilih kedua berfikir itu dalam konteks dirinya melihat tanah-air-negrinya. Dia meramunya menjadi satu tingkah laku pribadiny yang sangat universal dan dalam tingkah laku sosial dalam kerangka kenegaraan. Sebabnya, tingkah laku pribadi dengan tingkah laku sosialnya sebagai negarawan dan sejarawan dapat dipahami dengan arif, ketika kita sadar bahwa nehru sebenarnya seorang intelektual yang berlatar belakang ‘tekun’menulis. Apapun yang ia tulis akan lebih mudah dimengerti jika kita tidak lupa pada akhirnya penulis, Nehru seorang eseis.


Esei ditulis karena itu tulisan yang ditandai dengan ada atau tidaknya kecendekiaan, ada tidaknya ekspresi dan empiri, ada tidaknya rumor maupun humor. Kekuatan esei tidak bergantung pada argumen-argumen yang ‘kental’ logika, kaku; melainkan ‘jatuh’ pada lukisan-lukisan pikiran dan perasaan. Esai tidak berminat dengan pretensi kalkulasi yang matematis; atau pengajuan pemikiran yang-harus-faktual. Jelas esei adalah bagaimana sebuah obrolan yang santai tetapi cerdas dan menukik ke substansi makna, juga memikat. Kalau filsafat melakukan diskursus, kalau ilmu melakukan analisis, maka esei adalah sebuah dialog yang setiap pembaca dapat berdialektika. Merepresentasi nalar.


Adalah Nehru, dengan keinginanya berkomunikasi kehadap-an sanak saudara, teman dan rakyatnya menjadikannya cenderung kepada hal yang disebutkan terakhir, sehingga dia sendiri mempunyai daya tarik untuk menyatu kepada masa dan massanya. Potret Nehru tentu tidak akan jelas tanpa memperlihatkan zaman, yang menjadi tempat kerangka yang membentuk berpikiranya. Garapan yang tematis tentang dunia-kehidupan-manusiawi pada umumnya dan bangsa India pada khususnya merupakan simpul substansi dari karya-karya, seperti: Glimpses of World History, An Autobiography, The Unity of India, Discovery of India dan The Bunch of Old Letters.


Meyakinkan siapapun, bahwa dari “The Discovery…” yang disusunya dengan tambahan kutipan dari Shakespeare, berbunyi antara lain: “ Ketika merenung, saya mengenang kejadian-kejadian di masa lalu..” bagian dari dorongan yang besar dari dirinya atas rasa pedulinya terhadap bangsa. Dari buku tersebut kita dapat melihat betapa indosentrismenya Nehru, terutama terhadap kawasan Asia Tenggara yang dianggapnya sebagai bagian dari The Greater India. Begitu juga pada “Glimpses..” sangat nyata bahwa sebagaian corak pemikiran yang universal; dengan menggunakan tema-tema yang ‘khusus’ dalam kontek pengertian sejarah India sebagai pengandaiannya.


Sejarah India lebih banyak dipusat sejarah dunia. Indosentrisme yang ‘dianutnya’ memangsangat besar pengaruhya, terutama dalam rangkaian historisitas. Nehru juga punya pengertian yang ‘telaten’ terhadap modernisme sembari tak mengabaikan pengamatannya pada pertumbuhan ideologi-ideologi baru, seperti kapitalisme, sosialisme dan merxisme. Nehru memiliki pendirian bahwa tidak akan berarti jika hanya membicarakan yang berkaitan dengan raja-raja dan orang-orang besar saja, tanpa memuaskan konentrasi pada peranan massa, rakyat biasa, para petani dan pekerja. Sebab mereka ini dapat menjadi sasaran eksploitasi para penguasa dan bangsawan semata.


Kelihayannya dalam penulisan tergambar pada esainya “The Unity…” Dia bercengkraman dengan keindahan Kashmir, sebagai seorang wanita yang sangat cantik; dan kecantikannya hampir impersonal yang melebihi keinginan manusia. Namun Kashmir adalah wajah sang “kekasih” yang terlihat di dalam mimpi, yang kemudian lenyap ketika terbangun. Di tangan Nehru, nasionalisme tetap berarti ‘masa lampau adalah cerminan masa kini’. Dia menyadari sepenuhnya akan kenyataan bahwa India tetap tidak akan dimengerti tanpa mengetahui masa lampaunya. Sebagai pejuang kemerdekaan dan orang yang memiliki komitmen terhadap cita-cita perjuangan, mampu memandunya dengan bentuk yang paling konfrontatif sekali pun.


Hal itu pula yang dijalaninya sebelum ‘mengambil’ puncak kepemimpinan bangsanya. Sehingga keberadaan dan pengalamanya, menjadi intelektualis dan citra historis bangsanya memancar pada wawasan kemanusiaan. Sejarah, dalam pengertian Nehru, adalah sebuah makna yang jelas, sikap yang patut, fakta yang realis dan usaha yang berkelanjutan. Kalau sebagian orang beranggapan bahwa kebajikan sejarawan adalah mempertahankan fakta atau kepekaan sejarah, dengan menginstrumentasikan masing-masing sebagai ‘alat’. Dalam pikiran Nehru begitu pasti? Antara lain, bukan hanya seorang pemikir untuk kebangsaan melainkan juga sebagai pekerja untuk bangsanya. Ibarat membagun gedung baru. Nehru bukan sekedar orang yang memutuskan perlu tidaknya gedung itu; jika perlu model mana yang baik dipakai. Dia adalah juga orang yang harus membeli bahan bangunan, mengadakan biaya, mencari serta membayar para tukangnya. Cakrawala berfikirnya melampaui dunia sosialis, namun kearifannya adalah menjadi seorang yang tanpa dipengaruhi sepenuhnya, dunia tersebut. Begitu juga tentang semangat zamannya, Nehru adalah anak zamannya, tetapi ia memiliki kemampuan untuk melangkah “ke luar” dari zamannya dengan menggabungkan titik pandangnya yang historistik dan futurologist. Nehru merujuk kepada jalannya pristiwa-pristiwa kontemporer. Pada akhirnya Nehru memang bukan apa-apa bagi yang mengabaikan kesadarannya, Tetapi adalah suatu alam pikiran dan fenomena bagi setiap pembaca karya-karyanya. Indosentrisme –yang begitu kuat- adalah sebuah kesadaran, sedangkan Nehru adalah fenomena untuk “ satu bumi, satu umat manusia, satu nasib dan satu masa depan.” Kiranya itulah Nehru.