Setiap kali aku mengayuh jauh, terutama jalan yang aku tempuh melalui jalur sungai, aku sedikitnya merenung. Mengapa demikian? Aku tahu sungai tempat peradaban paling tua untuk transportasi dan sumber aneka hidup, selain potensi utamanya adalah air. Air bagiku adalah kekuatan dan kebesaran semesta bumi selain daratan. Belajarlah dari tubuh manusia. Berapa persen air di dalam tubuh kita? Begitulah bumi. Untuk itu sedikit nukilanku tentangnya seperti di bawah ini.

Air

Ke hilir, ia yang mengalir, yang menyisir tanah-tanah pinggir hingga pesisir. Dari hulu nan tinggi menuruni liku-liku lekuk bumi, mengairi sungai-sungai dan dataran sejak dari jejak purbawi. Mengirim kabar tentang batu-batu, kayu-kayu dan rumpun bambu dalam riwayat datu-datu yang menjaga hulu, yang menghuni bukit-bukit dan gunung itu. Alam yang membuatnya menyatu padu dalam segala tingkah laku.

Ke hilir, ia yang mencair terbakar matahari dari beku-beku batu. Angin yang membuatnya dingin, dingin yang menubuhkan tubuh jadi kaku. Ia terus melaju ke celah-celah waktu membelah-belah dataran nan rendah berubah jadi sungai-sungai baru, pun rawa-rawa, hendak mengalirinya hingga muara.

Ke muara, ia pun bertemu saudara seibu dari segala penjuru mata angin yang memimpin setiap arus. Yang mendidik perangai dan tabiat jeram. Menyusuri pepohon dan hutan dalam suasana begitu hening, begitu tenang terlihat di permukaan hingga ke hilir sana. Namun di dalam tetap menyimpan bening dan keruh sepanjang perjalanan. Keruh-keruh mengendap ketika arus membawanya ke laut yang asin dalam segala garam,
yang tenggelam dari beraneka alam,
yang datang dengan keriuhan alun,
yang mencerai-berai ganasnya gelombang.

Air pun tak seperti yang di hulu itu. Seperti yang dulu-dulu. Air tak lagi sejati, sebab ia telah berubah rasa, ia telah beraneka warna. Ia yang mengalir hingga ke hilir. Siapa yang sesungguhnya mulai berpikir? Ia telah berzikir sepanjang alir tempatnya mengalir:
Ialah air! Nan mencair, tak putus bila dicincang.

5 Des 2015
Oppungleladjingga