Catatan Enjun Junaedi (Reporter arusmalaka.com) 

Sebagai insan Pers bolehlah saya bersuka cita lantaran hari ini 9 Februari, seluruh insan Pers merayakan Hari Pers Nasional (HPN) yang senantiasa diperingati saban tahunnya.

Ada rasa bangga juga haru, dimana sebuah profesi yang hidup di tengah-tengah masyarakat serta bersinggungan dengan aktivitas keseharian khalayak, kemudian ditandai hari H-nya sebagai sesuatu yang istimewa. Sudah barang tentu, pekerjaan jurnalisme terekam sejarah dari masa ke masa, sejak kolonialisme dahulu hingga jaman revolusi sampai era digital kini.

Kita tentu tidak bisa melupakan para tokoh pejuang Jurnalistik. dan salah seorang diantaranya yakni sosok perintis Tirto Adhi Soerjo (1880–1918), seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran juga kewartawanan nasional Indonesia.

Tirto Adhi Soerjo dalam karir jurnalismenya menerbitkan surat kabar “Soenda Berita” (1903-1905), “Medan Prijaji ” (1907) dan “Putri Hindia” (1908). Medan Prijaji merupakan surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Tirto juga orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya ia ditangkap dan diasingkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke pulau Bacan, Maluku Utara. Lalu pada 1973 pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional.

Spirit perjalanan karir kewartawanan Tirto Adhi Soerjo inilah yang senantiasa memantik spirit generasi pers sesudahnya sampai kini. Betapa pekerjaan itu beresiko tinggi, bisa berupa pengasingan, pengancaman bahkan target pembunuhan, seperti kejadian-kejadian yang menimpa para Jurnalis sebelum kita, semisal Udin, seorang wartawan surat kabar harian Bernas, Yogyakarta, yang meninggal tahun 1996 akibat penganiayaan lantaran pemberitaan-pemberitaannya melulu dianggap bikin telinga panas rezim pemerintahan pada waktu itu. Mengutip kalimat Bung Karno, “Jka pekerjaan wartawan adalah pekerjaan yang sangat gawat.” Pernyataan tersebut terangkum dalam buku “Revolusi Belum Selesai”.

Pers sendiri dilindungi oleh UU Nomor 40 tahun 1999 – Tentang Pers. Berawal dari Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1963 Tentang Pembinaan Pers. Lalu diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 1966. Lalu diubah oleh UU Nomor 4 Tahun 1967, kemudian UU Nomor 21 Tahun 1982.

Perjalanan dunia kewartawanan tarik ulur, ada kelonggaran ada pula masa pengekangan ditandai pembreidelan kantor surat kabar, tentunya sesuai situasi politik dan kebijakan pemerintah pada era yang bersangkutan. Turun naik kebebasan pers di tanah air masih belum menyentuh jantung UUD’45, Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

Dan di era digital ini ditandai UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) atawa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, yakni UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum telah resmi disahkan perubahannya, disampaikan Presiden Joko Widodo pada DPR RI melalui Surat Nomor R-58/PRES/12/2023 tanggal 16 Desember 2021. Dimana UU ITE kerap disebut “pasal karet” ini lagi-lagi retorika pemerintah atas kebebasan berpendapat bagi setiap warga khususnya pers, yang konon melulu disebut-sebut sebagai pilar demokrasi. Pers adalah Pilar Demokrasi ke 4 yang berperan dan berfungsi sebagai kontrol sosial, membangun demokrasi yang sehat dan kuat, ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, berperan dalam upaya menegakkan supremasi hukum sebagaimana diamanatkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Lantas, siapa yang bakal menjaga amanat UU tersebut lalu menjalankannya dengan maksimal dan sepenuh hati, demi kemajuan dan kecerdasan Bangsa?