Oleh: Zulkarnain Siregar
Berbicara prihal bahasa sesungguhnya pokok pikiran tertuju pada bangsa. Bahasa tak bisa dilepaskan dari budaya yang tumbuh dan berkembang di tanah air suatu negeri. Negeri yang terdiri dari berbagai pulau, bahasa, tradisi dan teknologi komunikasi masa lalu ini telah sepakat untuk memilih satu bahasa sebagai bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Sesungguhnya kedudukan sebagai bahasa pemersatu ini yang menjadi tolok ukur semangat kebangsaan. Sementara kekayaan bahasa daerah merupakan mosaik kebudayaan bangsa yang teramat beragam ini menjadi sumber sumbangsih kosa kata untuk bahasa pemersatu bila sudah memenuhi kriteria menjadi percakapan nasional. Sayangnya mengapa sebagaian masyarakat kita kurang serius menanggapinya? Masih banyak masyarakat mempunyai asumsi mempelajari Bahasa Indonesia itu dirasa kurang perlu. Alasan yang konkret dapat dilihat dari masyarakat itu sendiri. Mereka banyak beranggapan bahasa tersebut dapat diketahui tanpa melaui proses pendidikan. Baik dari tingkat dasar, menengah maupun sampai ke tingkat perguruan tinggi. Sedangkan masyarakat sendiri tidak mengetahui bagaimana jatidiri Bahasa Indonesia itu dan bagaimana bisa diterima sebagai bahasa resmi negara dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 36. Begitu tentang sejarah dan asal usulnya. Apresiasi yang dangkal dan sempit dari masyarakat dalam memandang Bahasa Indonesia itu, mengakibatkan bahasa ini tidak dapat berkembang dalam koridor kebangsaan. Apalagi untuk melihat peluang dan dimensi yang ada pada bahasa Nasional kita ini. Bahkan kalau dilihat masa depan mahasiswa fakultas sastra yang mengambil jurusan Bahasa Indonesia agak sedikit berkerut kening. Kecuali mereka yang memang dari keguruan dan pendidikan. Mereka terkadang merasa malu atau enggan menyebutkan jurusannya. Karena merasa jurusan ini kurang “top” terpaksa harus munafik menyebutkan jurusan lain.
Dari beberapa contoh yang ada, bukti bagi kita kesadaran berbahasa Indonesia bagi masyarakat Indonesia semangkin menipis. Apakah memang sudah separah ini kedudukan bahasa Indonesia di negeri sendiri? Apakah demikian sempitnya ruang lingkup untuk bekerja bagi mahasiswa yang telah menamatkan studi di jurusan Bahasa Indonesia? Selain cuma menjadi tenaga pengajar, wartawan, dan pegawai-pegawai di balai bahasa?
Kalau dilihat sekarang masih banyak mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia sesungguhnya tidak tahu kemana arah tujuan mereka. Hanya kedengaran dari jawaban yang terlontar, ingin jadi ahli bahasa. Cita-cita yang keren. Namun sedikit utopis. Sebab butuh sekolah lagi dan lembaga tempat bekerja yang diakui negara. Sebagai bangsa, kita dituntut jangan merasa pesimis pada kenyataan yang ada sekarang ini. Namun ketersediaan ruang untuk berdedikasi sesuai dengan jurusan mereka ternyata juga sempit. Agak pahit juga memang untuk berbuka-bukaan tentang nasib alumni jurusan yang satu ini. Masyarakat yang tidak perduli dengan bahasanya sendiri bisa jadi bagian dari masalah di atas. Apabila hal ini terjadi, seakan kita tidak mau ambil peduli dengan bahasa yang kita akui sejak 1928 itu. Atau kita sendiri yang kurang berminat untuk meningkatkan martabat bahasa Nasional kita. Sehingga untuk menggunakannya pun lidah terasa kelu. Sebab sudah keranjingan menggunakan bahasa yang diimpor dari negri seberang.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif, justru penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah salah satu faktor penunjang keberhasilan pembangunan yang kita cita-citakan bersama. Seharusnya kita sebagai bangsa yang telah memiliki Bahasa Indonesia merasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana bahasa tersebut sekaligus telah melenyapkan persoalan bahasa Nasional, yang sangat pelik dan gampang menimbulkan emosi kedaerahan (Analisa Bahasa, Samsuri, 1980). Karenanya kita pun tak dapat lepas dari sejarah yang ada relevansinya dengan masalah bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional kita. Kita kembali teringat akan jasa Muhammad Yamin dengan kawan-kawannya, yang pada kongres pemuda di bulan Oktober 1928, telah memberikan kepada bangsa Indonesia suatu formulasi tentang penyelesaian alat komunikasi bagi kehidupan bangsa yang mereka dan bersatu.
Jika kita adakan observasi ke lapangan dengan mengajak salah seorang dari anggota masyarakat untuk berkomunikasi langsung, lalu kita buat suatu angket yang berisikan tentang kerutinan bahasa yang biasa dipergunakan sehari-hari serta kita coba menelaah bagaimana si pembicara menyusun struktur kalimatnya, kita dapat membandingkan kadar Bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh masyarakat secara baik dan benar pada kurun waktu yang akan datang. Namun eksistensi Bahasa Indonesia pada dekade ini terlihat mengabur dan luntur. Bahkan terlihat carut marut akibat percampuran dua sampai tiga bahasa yang disadari amat merusak komposi dan nalar. Belum lagi logika berpikir. Bahasa Indonesia yang kita pergunakan hari ini bukan berarti tidak baik sama sekali, tetapi seperti yang saya katakan di atas tadi, terjadinya “kelunturan”, sehingga keorisinilan bahasa Indonesia itu tidak ada lagi. Hal ini dapat dilihat dari persentasi masyarakat yang dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar masih sangat kecil dibanding besarnya minat masyarakat mempelajari bahasa asing.
Upaya Melestarikan
Bahasa adalah dasar kebudayaan, disamping itu bahasa itu sendiri bagian dari kebudayaan. Kini sudah gilirannya kita memikirkan bagaimana upaya untuk melestarikannya sembari membawa nama kebudayaan Indonesia itu di tengah-tengah khalayak dunia. Proses pembaharuan (modernisasi) dekade ini bukanlah berarti kita meninggalkan milik kita yang paling hakiki, yang kita produksi dari dalam negri kita sendiri. Dan juga bukan berarti kita menutup pintu atas masukannya produksi dari luar. Sebeb hal ini merupakan kreasi baru terutama bagi bahasa kita. Disinilah perlunya suatu alat penyaring bagi penyeleksian benda-benda yang kita “import”.
Sedangkan upaya kita dalam pelastarian bahasa Indonesia adalah cara/metoda didaktik dalam (mendidik, mengajarkan serta menganjurkan). Dalam usaha ini kita melihat beberapa langkah nyata yang tanpa kita sadari telah merupakan kebiasaan sehari-harinya.
- Adanya ikrar pada setiap upacara bendera hari Senin dan upacara hari sejarah nasional, pengucapan janji atau ikrar.
Sumpah pemuda yang sekaligus merupakan sebagian dari janji generasi penerus. Sehingga pada hakikatnya nanti nilai-nilai yang terkandung pada Sumpah Pemuda akan tertanam di sanubari mereka masing-masing.
- Penerapan tentang mata pelajaran/ mata kuliah Bahasa Indonesia di tingkat-tingkat pendidikan. Seperti untuk sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Mata pelajaran ini menjadi mata pelajaran umum yang harus mempunyai nilai yang baik. Begitu juga untuk perguruan tinggi, mata kuliah Bahasa Indonesia menjadi mata kuliah wajib fakultas yang harus diikuti.
- Media komunikasi yang turut ambil bagian dalam penyiaran-penyiaran bahasa seperti TVRI dengan adanya Pembinaan Bahasa Indonesia. Sekarang sudah tak ada lagi. Radio pemerintah dan swasta, Media massa dan media sosial (untuk kepentingan resmi)
- Adanya kegiatan-kegiatan menyambut bulan bahasa guna menggalangkan pemakaian bahasa Indonesia seperti :
- Mengadakan kongres-kongres, seminar dan diskusi panel tentang bahasa Indonesia.
- Lomba mengarang ilmiah dan lain-lain.
Kita masih ingat pepatah yang mengatakan “bahasa menunjukan bangsa” maka apabila kita kaji lebih jauh, jatidiri suatu bangsa dapat dikenal melalui tutur bahasanya. Kita bangga apabila wisatawan-wisatawan asing datang ke negeri kita, sebagian dari mereka mempunyai kesan-kesan tersendiri dan tentang keramahtamahan bangsa Indonesia. Sebagai tanda yang jelas dari pada kepribadian, yang baik maupun yang buruk. Tanda yang jelas dari pada budi kemanusiaan. Tanda yang jelas dari pada keluarga dan bangsa.
Sekarang masalahnya adalah bagaimana tindak lanjut kita mengadakan pendekatan dengan para pengusaha yang seenaknya saja menggunakan istilah, nama, plakat, serta selebaran maupun spanduk dengan bahasa-bahasa asing. Begitu juga artis dan aktor yang mumpuni untuk menjadi ikon berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pemungutan atau menciptakan “kata-kata” asing yang sering kita ambil mentah-mentah, sudah tentu akan menciptakan “communication gap”, karena masyarakat sebelum dapat menangkap “bahasa baru” itu. Apabila diperlukan bahasa asing kita terakan dibawah dengan memakai tanda kurung, misalnya Pusat Perbelanjaan (Super Market), sebab wisatawan-wisatawan asing yang belum berbahasa Indonesia juga dapat mengerti.
Satu lagi yang perlu ditekankan, khususnya bagi perguruan tinggi swasta, perlu kiranya membuka fakultas sastra. Dengan tujuan agar dapat menciptakan kader-kader serta ahli-ahli bahasa Indonesia yang siap, mampu, trampil berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Semoga apa yang kita harapkan semula tentang kemurnian nilai-nilai perjuangan bangsa dapat kita lestarikan melalui bahasa. Kemandirian bahasa kita tanpa dampak kelunturan warna bahasanya. Salam Indonesia. Salam merah putih.
*) Penulis adalah pendidik dan pecinta Bahasa Indonesia