Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum; Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, HP. 087864404347

I. Kabupaten Blora

Nama kabupaten Blora memang arum kuncara. Kata Blora berasal dari kata Belo dan Ara-ara. Blora juga bermakna belo ing ara-ara. Belo itu anak kuda. Ara-ara berarti padang rumput. Belo merupakan hewan piaraan yang punya masa depan gemilang. Belo yang dirawat dengan baik akan menjadi hewan ternak yang mewah megah. Kalau beruntung kuda yang bermutu tinggi pasti menjadi kesayangan para bangsawan utama.

Dalam tradisi kerajaan Jawa hewan kuda merupakan sebuah kebanggaan yang bergengsi tinggi. Belo yang digembala dipadang rumput akan menjadi bahan perhatian semua mata yang menatap. Tak terkecuali wilayah Blora. Sejak dulu menjadi perhatian berbagai pihak. Di Blora ada imbalan yang sangat memadai. Sesungguhnya kabupaten Blora memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Pada jaman kerajaan Majapahit wilayah Blora kerap menjadi tujuan kunjungan para pejabat istana.

Pada tahun 1352 Prabu Hayamwuruk berkunjung ke Bedander Bojonegoro. Raja Majapahit ini napak tilas perjuangan leluhurnya yaitu Prabu Joyonagoro. Perjalanan diteruskan ke Cepu Blora. Di sana beliau mengamati potensi alam Cepu Blora yang berlimpah ruah. Kayu jati dan minyak merupakan kekayaan alam yang mahal harganya. Kerajaan Majapahit memberi perlindungan dan pengaturan yang menguntungkan rakyat.

Kerajaan Majapahit masa kepemimpinan Prabu Brawijaya V semakin peduli pada wilayah Blora. Prabu Brawijaya V pernah tapa ngeli di Kali Lusi. Beliau juga melakukan meditasi di Gunung Kendheng. Rombongan kraton Majapahit kembali ke Surabaya naik perahu Kyai Rajawesi. Berangkat dari Cepu de-ngan menelusuri Bengawan Solo.

Masyarakat Blora telah sepakat menetapkan hari jadi kabupaten Blora. Hari ulang tahunnya diambil dari Kamis Kliwon tanggal 2 Sura 1675 atau 11 Desember 1749. Bupati pertama dijabat oleh Adipati Wilwatikta. Saat itu Blora dibawah pembinaan kraton Surakarta Hadiningrat. Rajanya bernama Sinuwun paku Buwana III.

Dalam Serat Centhini karya Sinuwun Paku Buwana V yang memerintah karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1820-1823 Blora banyak disebut. Wilayah Blora memiliki 5 keunggulan.

  1. Kayu Jati
    Kayu jati Blora berkualitas internasional. Penanaman kayu jati memerlukan waktu yang lama. Setidak-tidaknya 50 tahun. Itu baru bisa dipanen. Hari raya tentu lebih baik.
  2. Minyak tanah
    Sumur yang mengalir di wilayah Cepu menjadi kekayaan berlimpah ruah. Karunia Tuhan yang diberikan kepada masyarakat Blora amat besar.
  3. Semen Gamping
    Sepanjang gunung Sewu dan gunung Kendheng merupakan bahan untuk membuat semen. Bahkan sudah tersedia. Tinggal mengolah saja sudah menjadi barang mewah.
  4. Padi Gogo
    Padi gogo ditanam di ladang yang kering. Tidak perlu air yang cukup. Padi gogo tumbuh subur di sekitar tanah tandus. Rasanya enak sekali. Mutu rasanya berkelas dunia.
  5. Burung Perkutut
    Manuk kutut bersuara merdu, nyaring atau kung. Orang yang mendengar akan merasa tenang ayem tentrem. Burung perkutut sekitar gunung Kendheng sungguh memikat dan mahal harganya.

Tim kerajaan Surakarta sejak tahun 1810 sudah melaku-kan kajian yang mendalam atas wilayah Blora. Gunung Kendheng gunung Sewu, gunung Pandhan diulas terperinci. Penjelasan dari serat Centhini yang disusun tim karaton Surakarta dapat dijadikan panduan untuk mengolah wilayah Blora. Sepanjang sungai Bengawan Solo merupakan kawasan alam yang menye-diakan kekayaan yang amat banyak. Cuma perlu pengaturan yang jeals. Jangan sampai terjadi keributan. Itulah gunanya aturan hidup.

Kemajuan kabupaten Blora menjadi perhatian dunia sejak tahun 1862. Sinuwun Paku Buwana IX raja Kraton Surakar-ta Hadiningrat mengundang investor internasional. Pelabuhan Tanjung Emas Semarang diperbaiki. Mutu ketrampilan juru ukir Jepara ditingkatkan dengan pelatihan. Transportasi yang menghubungkan stasiun Cepu dibangun dengan sangat bagus. Jalur kereta api dibangun menghubungkan Cepu Surabaya dan Cepu Semarang. Betapa strategisnya kota Cepu Blora. Pemuda-pemudi Cepu dilatih dalam bidang teknologi modern. Mereka bisa bekerja di perusahaan kereta api.

Sinuwun Paku Buwono X memerintah tahun 1893-1939. Pemuda pemudi dari wilayah Banjarejo, Bogarejo, Cepu, Japan dan Jati diundang untuk belajar pengelolaan kebun teh di Ampel Boyolali pada tahun 1915. Setelah itu mereka bekerja dengan sistem kontrak. Upahnya lebih dari memadai. Setiap 3 bulan karyawan kebun teh ini diberi fakansi untuk kunjung orang tua di kampung. Semua biaya ditanggung perusahaan.
Pemuda pemudi Jeken, Kedungtuban, Kradenan, Kundur-an, Ngawen, Sambong, Randublatung, Todanan, Tunjungan pada tahun 1916 diajak belajar manajemen gula di pabrik Gondang Winangun. Pengalaman berharga ini berguna untuk menyong-song masa depan.

Kabupaten Blora memiliki sesanti atau motto MUSTIKA. Akronim MUSTIKA ini bermakna Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman. Harapan rakyat Blora ini disajikan dalam bentuk lagu laras pelog berjudul Blora Mustika.

Maju terus pembangunan nagri
Unggul kabul kuncara kang ginayuh
Sehat lahir kalawan batine
Tertib rancak tumata tuwin titi permati
Indah agawe tentreming rasa
Kontinyu tan kendhat kang binundi
Aman ayem temah karta raharja.

Lagu Blora Mustika tersebut populer sejak tahun 1984. Para wiyaga, waranggana sering mengumandangkan lagu Blora Mustika. Bahkan dalam seni tayub menjadi lagu favorit. Dengan garab balung yang kreatif, kendangan yang sigrak tentu membuat pengibing merasa cocok. Mereka njoged sesuai dengan irama. Suara ibu waranggana tayub yang merdu menjadikan mereka gembira ria. Penanggap rata-rata sedang punya hajad. Mantu, khitan, kelahiran bayi sering mengundang rombongan langen tayub.

Pengembangan seni budaya Blora boleh dikata maju sekali. Rakyat Blora tampil bahagia dengan nanggap tayub. Wilayah Cepu, Jepon, Randublatung mudah dijumpai pemen-tasan seni tayub. Pengrawit tayuban rata-rata dinamis, bebas dan sigrak. Nama yang terdengar selalu meriah, sensual dan menarik untuk gerakan. Seni tayub membuat bahagia bersama.

Para Bupati Blora

  1. Tumenggung Wilatikta 1749-1762. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.
  2. Tumenggung Jayeng Tirtanata 1762-1782. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.
  3. RT Tirtakusuma 1782-1812. Dilantik pada masa peme-rintahan Sunan Paku Buwono III, raja Surakarta Hadiningrat.
  4. RT Prawirayuda 1812-1823. Dilantik pada masa peme-rintahan Sunan Paku Buwono IV, raja Surakarta Hadi-ningrat.
  5. RT Tirtanegoro I 1823-1842. Dilantik pada masa peme-rintahan Sunan Paku Buwono V, raja Surakarta Hadi-ningrat.
  6. Adipati Cokronegoro I 1842-1843. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadiningrat.
  7. RT Tirtonegoro II 1843-1847. Dilantik pada masa peme-rintahan Sunan Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadi-ningrat.
  8. RT Notowijoyo 1847-1857. Dilantik pada masa peme-rintahan Sunan Paku Buwono VII, raja Surakarta Hadi-ningrat.
  9. RT Cokronegoro II 1857-1886. Dilantik pada masa pe-merintahan Sunan Paku Buwono IX, raja Surakarta Hadiningrat.
  10. RT Cokronegoro III 1886-1912. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.
  11. RM Abdulkadir Jaelani 1912-1926. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono X, raja Surakarta Hadiningrat.
  12. RM Cakraningrat 1926-1938. Dilantik pada masa peme-rintahan Sunan Paku Buwono X, raja Surakarta Hadi-ningrat.
  13. RM Murjono Joyodigdo 1938-1942. Dilantik pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.
  14. RM Sujono 1942-1945. Dilantik pada masa pemerintah-an Sunan Paku Buwono XI, raja Surakarta Hadiningrat.
  15. MR Iskandar 1945-1948. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soekarno.
  16. R Wibisono 1948-1949. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soekarno.
  17. R Siswadi Joyodigdo 1949-1952. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
  18. R Sujono 1952-1957. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
  19. Sunartio 1957-1960. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
  20. Sukirno Sastrodimejo 1960-1967. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
  21. Srinardi 1967-1973. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
  22. Supadi Yudodarmo 1973-1979. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
  23. Sumarno SH 1979-1989. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Soeharto.
  24. Sukardi Harjoprawiro 1989-1999. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
  25. Ir. Basuki Widodo 1999-2007. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Habibie.
  26. Yudhi Sancoko 2007-2010. Dilantik pada masa pemerin-tahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
  27. Joko Nugroho 2010-2020. Dilantik pada masa peme-rintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo.

II. Wilayah Blora

Aran ing Krendhawahana, urute si Kendheng gunung, abanjar dawa puniku, karo ing si Tengger arga, titahing dewa sadarum, kang murih marang ing dina, kailangan umur puput.

Ing kene nggonningsun nyetra, kariya milih sireku, sa-mono mau kang purun, nuninggih rama sandika, putrane anyu-wun sangu, warni arta swidak uwang, abragging pawon sadarum.

Miwah sen-isening griya, lempir glaran ingkang alus, myang sumekan warni catur, pandhan binethot sajuga, ijem ringin kalihipun, katri songer namanira, daringin jangkeping catur.

Ing tembe nak-putu ingkang, sami kapengin mangrasuk, sinjang sekaran puniku, mawia jawab ing kula, sadangunira mangrasuk, kula lilani nganggoa, panganten inggal puniku.

Bilih boten makatena, datan lega manahulun, tampia upata-ningsun, ya rara luwih prayoga, daktururane kang kantun, mundur Dyah Bathari Durga, Hyang Panyarikan mangayun.

Mangenjali aturira, kawula anyuwun sangu, ron karopak ingkang alus, kalih kisi pangot waja, pamintamu ingsun angsung, mundur Sang Hyang Panyarikan, mesat mring kayanganipun.

Gya Lebakipun mangarsa, nembah matur dhuh pukulun, ingkang abdi nyuwun sangu, ayam jaler estri gesang, lele kalih ingkang idhup, gecok ingkang warna-warna, tuwin sinjang tuluh-watu.

Sagegem sisih wos pethak, warni sanga tumpengipun, jadah warni sanga namung, sekul asahan penakan, kupat lepet legan-dha nung, pula-gringsing pula-gimbal, awug-awug kaduk juruh.

Tatedhan bangsa kukusan, remikan sapepakipun, rujak bakal ingkang wutuh, cadhong jenang ingkang pepak, pala ka-simpar gumantung, pala pendhem mamentahan, tuwin sinjang perlunipun.

Kangge nggendhong kang tatedhan, prayoga ing panyuwun-mu, Lebakiyuk wus amundur, Keblakdhekla kang mangarsa, marenges nembah umatur, pukulun gusti kawula, ingkang abdi nyuwun sangu.

Sekul ulam myang panganan, kawradinken kancaulun, pra-yoga sapanyuwunmu, Keblakdhekla kang wus medal, Kalabanjar amangayun, kawula pun Kalabanjar, plataran panggenan-ulun.

Ywa supe dipretenana, tumpeng sakilan nggilipun, wiyar sapecak pleng namung, sawontene ulam-ulam, dupa sekar cam-purbawur, picis patang ketheng wetah, yen tan makaten saestu.

Mindhak krep ngumpetken bocah, iya atut panjalukmu, daktuturane kang pungkur, Kalabanjar wus umesat, Kalaencer sowan matur, Kalsencer namakula, manggen prapatan delang-gung.

Dipertenana wakingwang, tumpeng sapecak nggillipun, kang sakilan wiyaripun, lawuh ulam gegorengan, ulam gego-dhogan namung, jajanganan kembang gantal, dupa picis ketheng wolu.

Yen boten makaten apan, kula mindhak asring mbesur, jeng-gleng tyang numpak kudhestu, iya ing panuwunira, daktuturana kang pungkur, Kalaencer sampun mesat, Kalajathok majeng matur.

Kalajathok nama-amba, manggen ing watoning salu, menek gelem nyanak ulun, saben-saben mentas nedha, watoning amben puniku, nggih kadekekana upa, mung kalih sisih thil namung.

Kang ajeg hya kongsi kendhat, yen wonten wisa puniku, saking jawi asalipun, amba sagah mangsulena, iya Jathok panyu-wunmu, daktuturane kang wuntat, kang sinung ling sampun mundur.

Kalajangkung mareg nembah, amba nama Kalajangkung, manggen ulon-ulon-ulun, kang dados panyuwunamba, yen te-men panyanakipun, saben tilem myang tileman, sampun sok idu mandhuwur.

Bilih wonten wisa-wisa, kang saking nginggil puniku, kula sagah nulak wangsul, iya banget panrimengwang, daktuturane kang pungkur, Kalajangkung wus amesat, Nyi Kalaijen mangayun.

Nyai Kalaijen amba, cumadhong dhawuh pukulun, punapa tumut tinundhung, punapa pareng kantuna, sira misia lestantun, apa panggaweyanira, Kalaijen nembah matur.

Nuninggih dhateng sendika, anamung panuwun-ulun, yen nuju wedalanipun, lare momonge kang pepak, iya dakwisik kang pungkur, Kalaijen wus umesat, gantya sinom sekaripun.

Manawi gembesan tanah, redi eler Kendheng saurutneki, namung sapalih winangun, kadi cenggering ayam, bilih sampun dados gebengan puniku, utawi balok namanya, sakarsa-karsa wus kenging.

De bilih badhe kinarya, talang wuwung utawi dandosanning, baita sasaminipun, kedah manah kabucal, sarta cinalonan sadha-puring wuwung, kalawan dhapuring talang, baita sasamineki.

Panyigaring kanang wreksa, naminipun kapaju patrapneki, rumuhun kakencong mujur, wit pucuk trus bongkotnya, kiwa-tengen utawi ngandhap myang luhur, kencongan ing nginggil nulya, katancepan paju wiwit.

Pucuk dumugi bongkotnya, longkangipun paju sami nyaka-ki, sakathahing paju-paju, ginandhenan dumugya, ing kencongan ngandhap terusaning luhur, wradin paju tekeng ngandhap, gya sinigar langkung gampil.

Wondene ta kajeng ingkang, ageng-ageng patrap panggarap-neki, ing bongkot utawi pucuk, kang labet gagethakan, kaken-congan malang gya tinrapan paju, mugi lajeng ginandhena, yen kajeng genge samundhing.

Gandhenipun semprong nama, gendhing semprong tinar-tamtu ngungkuli, genging kajeng kang pinaju, semprong ginan-tung malang, neng wit-witan ingkang caket wonten ngriku, kinandhut tinarik ngangkah, saget nuthuk paju sami.

Ing sasampunipun sigar, dyan rinimbas utawi denprejengi, kadamel saprelunipun, gebingan myang balabag, terangipun ingkang sama kencong mujur, sakiwa-tengenning wreksa, utawi ing ngandhap nginggil.

Winadung amujur panjang, awit bongkot dumugi pucuk-neki, kados kakalenan mujur, wondene kencong malang, pernah bongkot utawi kapernah pucuk, winadung supados krowak, kenginga dipunseseli.

Ing paju sacekapira, menggah paju wau ingkang kinardi, kajeng jati ingkang burus, ing bongkot wradin papak, pucuk lan-cip radi gepeng wujudipun, dene ageng panjangira, dinugi kang nguwaweni.

Kang nama kajeng kocoran, panegornya tan tineres rumiyin, maksih gesang angrembuyung, gya tinegor kewala, patrap-pa-trap panegor pangresbasipun, pamrejeng sasaminira, kadi kang kasebut ngarsi.

Mung wusing dadya gebingan, gya kinethok ginambang tha-rik-tharik, kadi amben isthanipun, neng panggonan kang banar, laminipun tigang wulan para langkung, punika sampun prayoga, kaangge parabot panti.

Yen kajeng badhe baita, tuwin wuwung talang sasamineki, panggenan pamenthengipun, kang asrep myang keyuban, lami-nipun ugi tigang wulan langkung, sanadyan kajeng kocoran, saget awet sawatawis.

Mangkya bab sirap winarna, naminipun wonten sakawan warni, sawarni Dumba rannipun, wiyarnya ing ukuran, kalih-tengah kaki sapanginggilipun, panjang wiwit ukur tiga, kaki sapanginggilneki.

Kalih sirap Gupe rannya, lawan Dumba geng panjang boten sami, ukur awit wiyaripun, satunggal kaki minggah, panjang ka-lih satengan kaki ingukur, minggah dumugi ukuran, kirangipun tigang kaki.

Tiga nama sirap Dhara, wiyaripun pitung edim manginggil, dene ukur panjangipun, pan kalih kaki minggah, catur sirap ge-dhong dene wiyaripun, namung sekawan dim minggah, panjang gangsalwelas edim.

Kajeng kang kadamel sirap, tinartamtu awet tan nguciwani, teteresan ingkang burus, manawi bangsa ngandhap, tiyang alit purun damel sirap wau, saking glinggang saha brungkah, manawi pundhutan aji.

Tuwin para luhur samya, kedah negor saking teresan tuwin, negor ingkang taksih idhup, piliyan ugi ingkang, burus mulus nir cacat saurutipun, patraping panyigarira, sampuning rebah kang uwit.

Pinilih kang tanpa cacat, serat burus kadi kasebut ngarsi, ginethak sasisihipun, sapanjanging kang sirap, dipun-ancas angi-ras kadamel lancur, gethakan gya kaanjingan, paju lajeng den-gandheni.

Paju kang kapara kathah, patrapipun kapara krep prayogi, mila makaten liripun, urut serating wreksa, saha boten pecah nalisir myang remuk, yen wus dadya balebekan, gya rinimbas den-calonni.

Dalam lintasan sejarah budaya ternyata kabupaten Blora selalu menjadi perhatian para sarjana dunia. Semua kerajaan Jawa menjadikan Blora sebagai tempat untuk mempertajam kualitas manajemen kenegaraan. Oleh karena itu para pemimpin tersebut senantiasa menggunakan konsep manunggaling kawula Gusti dalam menata kabupaten Blora. Kabupaten Blora sudah tepat memiliki sesanti atau semboyan Blora Mustika: Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman. Konsep yang indah ini bertambah indah ketika disajikan dalam bentuk lelagon gendhing.

III. Macapat Blora

  1. Gambuh Blora Misuwur

Blora tlatah misuwur,
Wus cinatur alam sarwa luhur,
Watu gamping ibarat emas sinangkling,
Lenga mili kadya banyu,
Pari gaga subur awoh.

Patut peksi perkutut,
Lamun manggung lumrah yen ginunggung,
Kayu jati kanugrahan edi peni,
Jagad Blora pancen makmur,
Padhange tambah sumorot.

Guyub rukun kadulu,
Suka sukur saben siyang dalu,
Kutha desa sami gumregut makarti,
Sandhang pangan papan cukup,
Blora sangsaya mencorong.

Jumangkah bahu suku,
Sinengkuyung lantiping panemu,
Warga Blora tata titi tatas titis,
Karsa tatag karya tutug,
Nyambut gawe gotong royong.

  1. Pangkur Trah Blora

Sejarah Bupati Blora,
Lajur lajer Prabu Hadi Hanyakrawati,
Narendra Mataram agung,
Tedhaking Kraton Pajang,
Kang ber bandhu ber bandha murih rahayu,
Watak wantu wicaksana,
Momong Ki Ageng Penjawi.

Asma prameswari nata,
Nimas Banuwati putri merbawani,
Kusuma rembesing madu,
Wiji amaratapa,
Turas ratu Jaka Tingkir kebak ilmu,
Trah Dipati Dayaningrat,
Pengageng ing Bumi Pengging.

  1. Sinom Pandam Blora

Pandam pandom bumi Blora,
Wulangan wejangan becik,
Asumber sastra piwulang,
Reriptan pujangga wasis,
Wali ing Tanah Jawi,
Rinumpaka budi hayu,
Wulangreh wedhatama,
Rumasuk ing lahir batin,
Binerkahan kawidadan karaharjan.

Perbawa kali bengawan,
Gunung Kendheng banget wingit,
Anglangkungi tanah Blora,
Pangawikan manca warni,
Busana endah asri,
Dhaharan kinarya suguh,
Ketrampilan kaprigelan,
Kanggo sanguning ngaurip,
Kang kajangkah murih tentreming bebrayan.

  1. Kinanthi Blora Bulu Bekti

Pepundhen Ki Ageng Tarub,
Peputra Dewi Nawangsih,
Krama lan Bondhan Kejawan,
Nurunke Ki Ageng Sela,
Tumuli Ki Ageng Ngenis,
Martani lan Pemanahan,
Panembahan Senapati.

Kawula Blora binantu,
Saka guru kayu jati,
Wewangunan pagelaran,
Demak Pajang lan Mentawis,
Miwah sedulur Jepara,
Ukiran kang edi peni.

  1. Dhandhanggula Babad Blora

Babad Blora kuna kang winarni,
Wiwit Majapahit Dhatulaya,
Ngejayeng bawana kiye,
Brawijaya Sinuwun,
Mbahu dhendha gung nyakrawati,
Tlatahing nuswantara,
Wusnya tedhak turun,
Kasultanan Demak Pajang,
Binathara ambawani Tanah Jawi,
Lestari ing Mataram.

Kawruhana sejarah bupati,
Setya darma nata bumi Blora,
Mumpuni kasarjanane,
Olah kaprajan putus,
Mangastuti warah pra Wali,
Jalma berag agama,
Pandhita lan ratu,
Adhedhasar kautaman,
Wulang wuruk tumrap sagung mudha mudhi,
Kanggo tepa tuladha.

  1. Pucung Dhaharan Blora

Sagah suguh arah aruh kagen dhayuh,
Tumrap kadang Blora,
Dhaharan mirasa adi,
Wajik jenang jadah kripik lan rengginang.

Kupat tahu lonthong opor pancen perlu,
Emping madu mangsa,
Lepet karak karuk intip,
Opak rambak kumriyuk rasane enak.

Para tamu lelenggahan mesem ngguyu,
Dhahar sate Blora,
Unjukane wedang kopi,
Tanpa sayah srupat sruput sarwa bungah.

Suka sukur warga Blora pancen makmur,
Cukup sandhang boga,
Rejekine mbanyu mili,
Tur prasaja darma bakti marang praja.

  1. Blora Mustika

Maju terus pembangunan nagri
Unggul kabul kuncara kang ginayuh
Sehat lahir kalawan batine
Tertib rancak tumata tuwin titi premati

Indah gawe tentreme rasa
Kontinyu tan kendhat kang binudi
Aman ayem temah karta raharja
Mustika Blora Mustika

Tafsir penjelasan makna

Blora merupakan kota yang berada di propinsi Jawa Tengah. Memiliki semboyan Mustika. Kata ini merupakan akronim dari MUSTIKA : Maju, Unggul, Sehat, Tertib, Indah, Kontinyu, Aman.

Kabupaten Blora terkenal sebagai daerah penghasil kayu jati. Kualitas jatinya tingkat dunia. Cocok untuk membuat bangunan joglo, limasan, bucu, dan pendapa. Rumah yang terbuat dari kayu jati tentu saja bernilai megah dan mewah.

Wilayah Blora berdekatan dengan gunung Kendeng dan gunung Sewu. Gunung Kendeng berada di sebelah utara Bengawan Solo. Sedang sebelah selatannya adalah gunung Sewu yang berjajar-jajar.

Gunung Sewu ini disebut juga dengan gunung Renteng. Wilayah sekitar gunung Kendeng dan gunung Sewu ini terkenal memiliki keunggulan kayu jati, gamping, minyak, pari gaga, manuk perkutut.

Dr. Purwadi, SS, M. Hum, Lahir di Grogol, Mojorembun, Rejoso, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 16 September 1971. Gelar sarjana diperoleh di Fakultas Sastra UGM yang ditempuh tahun 1990-1995, kemudian melanjutkan pada Program Pascasarjana UGM tahun 1996-1998. Gelar Doktor diperoleh tahun 2001. Bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Buku yang diterbitkan yaitu: Seni Kerawitan, Seni Pedhalangan, Seni Macapat, Tembang Dolanan, Cah Nganjuk Budhal Sekolah, SMP Banjar, Gotong Royong di Kabupaten Nganjuk, Etos Budaya Masyarakat Nganjuk, Biografi Dhalang Ki Panut Darmoko, Biografi Dhalang Ki Joko Suwani, Biografi Presiden Soekarno, Biografi Presiden Soeharto, Biografi Presiden SBY, Biografi Hidayat Nur Wahid, Biografi Jimly Asshiddiq, Biografi Bupati Serdang Bedagai, Riwayat Gadjah Mada, Riwayat Sultan Agung, Riwayat Jaka Tingkir, Riwayat Prabu Jayabaya, Riwayat Paku Buwana X, Babad Tanah Jawi, Sejarah Majapahit, Sejarah Demak, Sejarah Mataram, Sejarah Pajang, Sejarah Surakarta, Sejarah Yogyakarta, Sejarah Wong Jawa di Sumatra, Sejarah PT Krakatau Steel.
Pernah mengajar kebudayaan di negeri Singapura, Malaysia (Kuala lumpur, Selangor), Arab, Nederland (KBRI Den Haag, Amsterdam, Volendam, Artez Concervatorium Enschede), Jerman, Inggris (Manchester, Cambridge University, Bradford University, University of College London) dan India (Jawaharlal Nehru University). Alamat tinggal: Jl. Kakap Raya 36 Minomartani Yogyakarta. HP. 087864404347.