Oleh : Zulkarnain Siregar

Keberadaan anak dalam masyarakat kita belum menjadi bagian utama dalam proyeksi berpikir. Dalam kosa kata pembangunan, anak nyaris terabaikan sebagai suatu kepentingan utama. bahkan anak selalu menjadi ‘masyarakat marginal'”dari stratifikasi sosial yang ada. Anak selalu terhegemoni oleh kepentingan – kepentingan besar para orang tua. Padahal hakikatnya, anak dalam masyarakat kecil, seperti keluarga; maupun masyarakat besar, seperti bangsa adalah “cermin” berhasil atau tidaknya suatu masyarakat.

            Membicarakan anak dengan berbagai persoalan yang mengelilinginya dibutuhkan sikap yang terbuka dan jujur. Sebab tanpa sikap demikian tampaknya sulit untuk dipahami fenomena apa yang sebenarnya ada di balik setiap persoalan yang timbul di dalam komunitas mereka. Advokasi anak dari segala kepentingan besar di luar dirinya tampaknya perlu dilakukan sedini mungkin. Paling tidak, masyarakat dapat memahami betapa pentingnya anak mendapat prioritas dalam berbagai bentuk prilaku dan kosa kata masyarakat ketika kita sedang membangun.

            Mengangkat anak dalam komitmen kebangkasaan sebagai generasi muda belumlah cukup baik, jika melibatkan mereka hanya pada sektor-sektor kepentingan sesaat, seperti : kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan kepentingan sosial semata-mata. Ironisnya kepentingan -kepentingan yang disebut tadi cenderung bermuara kepada kepentingan orang-orang tua dan orang – orang besar saja. Kalaupun dicari-cari hubungan kausalitas dari kepentingan itu kepada anak, sungguh masih jauh dari kontek zaman, situasi dan kondisi, baik secara sosiologis maupun psikologis. Asumsi terhadap anak yang berkembang dalam masyarakat kita selalu jatuh pada tendensi negatif. Anak selalu diklaim dalam premis-premis negatif, seperti: kurang berwawasan, kurang bertanggung jawab, tidak memiliki sopan santun, dalam berbagai ukuran dan lain-lain. Asumsi seperti ini juga , bagian dari betapa besarnya kepentingan- kepentingan orang tua “masuk” ke dalam diri anak. Sehingga tampaknya hanya orang-orang tua saja yang berhak menilai sesuatu terhadap anak. Padahal anak pada hakikatnya adalah memiliki masa depan meminjam istilah Kahlil Gibran bukan milik para orang tua atau masyarakatnya.

            Dalam konteks budaya lokal, anak diletakan sebagai doromua “kebudayaan besar” para orang tua dan adat istiadat. Anak di ‘turun’kan sebagai pewaris marga- marga atau bagian dari klan dalam komunitas masyarakatnya. Jika garis keturunan berdasarkan patrilineal, maka anak mengikuti garis ayah, Namun, jika garis keturunanya matrilineal, maka anak menggunakan klan ibu sebagai identitas. Sebagai pewaris “nilai-nilai” budaya yang disebutkan di atas, anak hanya sebagai “penyambung lidah” kebudayaan besar para orang tua, jarang berperan sebagai “interpreter” kebutuhan akan kebudayaan yang dicerapnya. Paling tidak, memahami secara obyektif sebuah kebudayaan tanpa harus bersikap permisif. Dengan kata lain “pewarisan” nilai budaya bagi anak masih berbanding asimetris, adialogis dan sebatas membesarkan “marwah” kebudayaan besar orang tua dan komunitasnya. Persisnya, substansi dari akar kebudayaan lokal tidak dapat terungkap secara apik. Sehingga hal ini dapat menjadi penyebab salah satu kekurang pedulian anak pada budaya-budaya lokal, apalagi yang orientasinya hanya beruatan primordial.

            Dalam konteks beragama, anak juga cenderung memahami anutannya berdasarkan apa dan bagaimana agama yang dipahami para orang tua sebagai suatu kapasitas. Anak sebatas meniru apa yang disampaikan orang tua. Dengan kata lain, dalam diri anak yang hanya ada adalah pengalaman orang tua dalam beragama, tetapi bukan pengalaman yang mendalam tentang agama. Ironisnya, cara agama yang diwariskan orang tuanya itu pula yang dianggapnya paling mengena. Padahal pengalaman beragama setiap orang pastilah berbeda. Bahkan sebaliknya, ada semacam “pemaksaan” bahwa cara-cara dan pengalaman beragama orang tualah yang benar dan patut untuk dilaksanakan. Tahap terakhir inilah yang memungkinkan “ideologi” orang tua lebih utama diserap anak dari pada pesan-pesan agama itu sendiri. Bagi anak yang patuh secara penuh maka kemunginan lain dalam beragama tampaknya tidak memiliki alternatif. Sedangkan bagi anak yang kreatif dalam memahami agama, ia cenderung “menggugat” apa dan bagaimana pengalaman beragama yang dikontribusikan orang tuanya. Anak demikian tampaknya tidak begitu berminatnya mempelajari agama yang sekedar “warisan” tetapi bagaimana “membagun” pemahaman keagamaan yang lebih komprehensif. Dengan demikian anak zaman kini dimanakah sebenarnya posisi keberagamaannya? Ortodoksi atau pluralisme dalam memandang agama? atau ada “agama” lain yang lebih identik dengan identitas mereka kini.

Persoalan yang Mendasar

            Persoalan yang mendasar bagi anak sebenarnya adalah komunikasi dan kemauan “etik” para orang tua dalam menyahuti problema dan dilema anak zaman kini. Anak dapat diletakan sebagai subyek, tidak hanya sebagai obyek dalam dimensi sosial budaya dan religi. Apalagi dalam kepentingan politik, ekonomi dan ideologi macam apapun yang berkembang. Permasalahan yang dilematis yang dihadapi oleh kalangan dewasa tidak selamanya berparalel dengan persoalan-persoalan anak. Kontribusinya berbeda dan keluasan dampak masalah juga berlainan. Bahkan pemecahan masalahnya pun juga tidak dapat diseragamkan.

            Ada beberapa penyebab yang melatarbelakangi mengapa anak kurang begitu meminati apa yang dianggapnya sebagai “norma-norma nilai” yang selalu didapatnya dari berbagai kontribusi pemikiran yang mapan di dalam masyarakatnya. Penyebab itu antara lain: 1). Alam berpikir dan pertimbangan yang belum terkondisi dalam menatap zaman yang berkembang. 2).Krisis contoh ketauladanan yang ditawarkan lebih berkembang dari pada sikap konkret dari komitmen moral para orang tua. 3). Informasi yang berkembang secara multidimensi lebih diarifi anak sebagai pilihan daripada suatu yang bersifat sepihak. 4). Bertahannya mitos tentang anak dalam masyarakat cenderung sebagai obyek. 5). “Ideologi” kekerasan lebih dibiarkan berkembang dari pada solusi yang memanusiakan orang lewat cara-cara yang damai dan sejahtra. 6). Ketegasan hukum dan keadilan yang mengayomi eksistensi anak belum memadai. 7). suasana dialogis dan kemampuan melihat perbedaan dari para orang tua yang masih minim sekali.

            Pertanyaan yang mengusik adalah bahwa siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab terhadap kesenjangan ini? Apa yang dilakukan untuk anak yang putus sekolah karena ketiadaan ekonomi, anak yang berpartisipasi tetapi kurang relevan dengan pasaran kerja, nasib buruh anak yang berkerja di sector informal seperti jermal, perkebunan dan industri yang dilakukan tidak manusiawi, serta nasib anak-anak jalanan, pengemis. Sebaliknya bagaimana pula dengan anak-anak yang difasilitasi oleh berbagai kemungkinan, tetapi lebih destruktif terhadap lingkungannya dalam pengertian yang luas. Problem psikologis yang dihadapi anak ternyata mempunyai ekses negatif secara sosiologis dan peadagogis.

Mengubah Mitos

            Idealnya ada tiga institusi yang berperan penting sebagai wadah pembinaan anak. Ketiga institusi yang disepakati yaitu, antara lain: keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiganya mrupakan “The Schooling Society” yang dalam praksisnya yang belum melakukan anak sebagai subyek.

            Pada keluarga ada dua dimensi berpikir yang bertahan dalam memperlakukan anak pada masyarakat kita. Pertama, jika keluarga yang mapan secara ekonomi, anak lebih dikendalikan dengan oleh kekuatan-kekuatan materi. Bahkan “dijanjikan” bahwa kemampuan ekonomilah yang menjamin sukses tidaknya seorang anak. Anak lebih ditempatkan pada kepentingan sosial ekonomi dan martabat orang tua dari pada kesinambungan kemanusiaan nuraninya sebagai anak. Anak dicekoki dangan kata-kata harus dan jangan, hanya demi kewibawaan orang tua yang sesaat, tanpa dipikirkan bahwa anak sebenarnya ingin “keluar” dari pengaruh “kekuasaan” itu. Tentu dalam proses penumbuhan alami. Praktik pendidikan seperti ini jelas mempertegas kedudukan anak sebagai obyek. Anak ‘dicetak’ untuk siap pakai sesuai dengan kebutuhan guru, sekolah, masyarakat dan pembangunan. Nilai kognitif murni menjadi standard penilaian atas kecerdasan dan intelegensi seorang anak, bukan bakat dan bidang-bidang yang diminati. Pertanyaan umum yang berkembang dari belajar hanya tertumpu pada, “Nilai berapa, peringkat berapa dan berapa IP-mu?” Menghadapi ”pola” seperti ini, anak mau tidak mau akan terbingkai dalam satu alur berpikir, tanpa alternatif yang dapat diciptakannya. Oleh karna itu, tidak banyak anak yang hadir kreatif, tanggap dan kritis dari bangku sekolah daripada anak yang sebenarnya berhadapan dengan realitas.

            Di masyarakat, anak tampaknya juga mendapat perlakuan yang sama seperti dalam keluarga maupun dalam lembaga pendidikan seperti sekolah. lihat saja model-model ”pola” konsumsi yang berkembang, anak lebih ditempatkan sebagai obyek suatu produksi. Masyarakat lebih menilai keberhasilan anak dari potensi-potensi ekonomi dari pada potensi sosial dan budaya. Contoh konkret, seorang anak yang bekerja pada pusat kepentingan ekonomi secara langsung lebih mempunyai harkat daripada seorang anak yang menjadi pekerja seni atau seniman. Padahal, belum tentu pekerjaan yang terakhir tersebut akibat langsungnya tidak besar terhadap nurani dan “pencerahan” suatu masyarakat atau bangsa.

Penutup

            Sebagai suatu masyarakat yang berangkat dari kekuatan mitos, kepercayaan-kepercayaan historis, kita sebaiknya memilih model apa yang tepat untuk membangun kehidupan anak yang lebih representatif? Di dalam keluarga yang mapan secara ekonomi, belum tentu perangkat-perangkat pembinaan anak dikelola secara modern. Artinya, apakah anak sudah merupakan bagian penentu kebijakan keluarga, atau setidak-tidaknya dilibatkan sebagai subyek penentu. Di dalam sekolah, anak seharusnya diperkenalkan dengan hal-hal yang relialistis dari pada sekadar menelan butir-butir teori atau konsep. Mampu menilai dan menimbang kondisi nyata yang selalu dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Guru bukan menggurui anak, tetapi memotivsi kepeduliannya terhadap belajar dan menumbuhkan kesadaran akan kreativitas pada dirinya untuk memajukan pertumbuhan pribadi dan kemandiriannya yang berhubungan dengan lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana anak tidak selalu mendengar dan mendapat ‘ancaman’ atau ‘sanksi’ dalam belajar ketika ia menjadi jenuh. Di masyarakat anak tidak hanya menjadi lapisan marginal, tetapi menjadi penting sebagai ”sokoguru” masyarakat. Dengan kata lain, hak-hak asasi anak dalam masyarakat kita menjadi prioritas dalm kosa kata pembangunan. Tanpa hal itu, kita tidak mungkin mengatakan bahwa bangsa ini “sedang membangun” suatu generasi.Semoga.