Persentuhan dengan banyak orang yang dengan latar belakang budaya, agama, status sosial dan profesi yang berbeda ternyata memberi kekayaan batin tersendiri. Dengan mengenal dan memahaminya melalui “titik temu” tanpa menafikan “titik tengkar” adalah sebuah dinamika pergaulan yang nyaris tak membawa diri ke dalam interaksi yang antisosial.
Sampai hari ini, aku masih ingat setidaknya inilah gagasan awal dari Komunitas Taman
yang pernah ada di kota Medan.
Dengan cara mengembangkan tikar di taman-taman kota pada Sabtu petang dalam dwibulanan kawan-kawan datang berkumpul. Para inisiator partisipan duduk bersila di taman kota. Mulai dari mahasiswa hingga guru besar. Mulai dari juruwarta hingga penulis bebas. Mulai dari budayawan, agamawan dan birokrat hadir sebagai warga kota.
Sempat hampir dua tahun mengkhususkan diri membincangkan tema yang fokus pada Kekerasan dilihat dari berbagai dimensi kehidupan dalam konteks kota. Kadang nyaris bersentuhan juga dengan tema konflik-konflik di ruang publik antara kepentingan pribadi/kelompok berhadapan dengan kepentingan umum (publik). Yang kesemuanya itu dibincangkan dalam suasana santai dan nyaris melahir banyak anekdot.
Selanjutnya, komunitas taman mencoba menurunkannya menjadi aksi-aksi budaya dan lingkungan. Melepas burung merpati di taman kota dan menanam pohon. Tentu ini kegiatan positif buat menumbuhkan semangat keberanekaan warga kota, Tanpa kepentingan individu, golongan dan identitas apapun. Kecuali semangat kebersamaan yang tumbuh dari masing-masing yang hadir.
Persaudaraan dan kebersamaan. seperti sebuah taman dengan beraneka tanaman. Begitu juga warni-warni puspa dan aroma. Sayang..sepertinya ia hilang tanpa bayang-bayang. Ia pergi tak pernah pulang untuk sekadar saling bersulang. Harapannya kecil tapi tetap ada dan berulang. Semoga tak sampailah tergerus oleh arus deras politik identitas.
Kapan ya bisa kita ulang?
Alumni komuitas Taman
Medan, 25 Oktober 2016