Kalau aku disuruh memilih bersepeda atau menulis puisi. Pertama kali aku memilih bersepeda. Sebab dengan bersepeda aku punya teman jalan hingga ke pantai Brawe Pulau Kampai sana. Menyeberangi laut lagi. Sesampainya di sana gowes pun dimulai. Dari kuburan panjang hingga ke pabrik belacan. Dari menikmati angin sejuk pantai hingga sampai menyantap sea food (udang, kepiting, sotong dan ikan) bersama kawan-kawan.
Sepanjang perjalanan gowes tentu banyak yang dilihat. Start mulai dari Kota Pangkalan Brandan, Kebun Sawit (rute track trail), Pipa Delapan, Pangkalan Susu, Pulau Kampai hingga Pantai Brawe. Perjalanan yang begitu menantang dan melelahkan ternyata cukup menggembirakan sesampai di dermaga Pangkalan Susu. Seluruh sepeda kami masukkan ke kapal motor penyeberangan. Perjalanan lebih setengah jam di laut menjadi masa untuk menikmati rehat dan menyeka peluh.
Lalu kapan pula menulis puisinya?
Menulis puisi ini bagiku cuma pilihan kedua. Bukan utama. Mungkin sesampai kembali di rumah, atau seminggu setelah itu, atau sebulan, setahun dst. Kapan sukanya. Tak ada target untuk harus. Sebab tak ada beban dalam diri atau terobsesi jadi penyair. Apa lagi penyair hebat. Mau jadi terkenal karena menulis, ya nanti dulu. Menulis apa pun sekali lagi bagiku cuma untuk bersenang-senang saja. Mendidik diri jangan geer! Itu saja!
(1) Dari yang Melarut
(Kepada Angin yang Rindu)
Asin laut ibu yang memecah ombak
Dalam geliat malam di ujung karang
Bulan tersangkut di jaring nelayan
Sampan kehilangan arah tujuan
Gulita menenggel(1) Dari yang Melarut
(Kepada Angin yang Rindu)
Asin laut ibu yang memecah ombak
Dalam geliat malam di ujung karang
Bulan tersangkut di jaring nelayan
Sampan kehilangan arah tujuan
Gulita menenggelamkan segala bayangan
Asam gunung bapak yang
membelah bambu
Menghanyutkan rakit dari hulu
tak bertepi
Malam merenung seperti hendak
keluar dari bubu
Dari mereka itu aku lahir
Menawan ragu yang membuncah
Menahan pilu yang hendak memecah
Kadang memulangkan angin ke darat
Pun mendatangkan badai ke laut
Sesaat langit kecut
Dinihari
Jumat,1515
00.23
Oppungleladjingga
(2) Kepada Laut-Mu
entah laut-Mu yang membuatku terpaut
Kusebut pada angin. Gelombang mencari pantai hendak menghela. Siapa yang memukau?
Pasir putih tempat berkaca, matahari telanjang
di hadapan siang, nyiur melambai-lambai
sepanjang pantai segara-Mu membuka rasa
rasa cemburu camar pada jermal
yang membuatku seperti sampan
tak mampu mengubah rindu
anak-anak laut
pada cangkang kepah, cucut
entah lautMu yang membuatku jadi begitu larut
8 Mei 2016
Oppungleladjingga
(3) Pasang Mati
Kulabuhkan sampan mendekat dermaga
Tiang-tiang merapuh, tali kutambat
ujung senja memerah di kaki langit sana
Laut itu sempat jadi tempat kita bicara
Tentang ombak, pasang yang berkali-kali datang
Angin yang kencang memaksa haluan berpaling
Sepenggal waktu telah mengoyak rindu
Pulang ke tanah asal yang terlupa
Ibu yang melahirkan kata sewaktu menyusu aku
Nyanyian ratapan mengumandang
Anak-anak sudah tak mengenal kampung neneknya
Menjadi asing di tanah ayah ibunya
Pasang laut terus berulang, musim berganti
Kemana hendak mengayuh sampan?
Angin selalu tak pasti membawa gelombang bimbang
Deli, 25 April 2018
Oppungleladjingga
(4) Padahal Pasang ‘kan Naik
Kemana angin
Sembunyikan ombak petang
Padahal pasang ‘kan naik?
Menatap ke laut lepas
Namun tak terlihat riuhmu menari
Mengayun-ayun sampan nelayan
Dan jejaring jermal selepas pantai
Kemana sapa sendaguraumu?
Yang kunanti ketika kau menghempas diri
Di batang-batang dan akar bakau
Hari ini sepertinya pasang ‘kan naik
Pupus rasa tiba menghela
Tapi tiada mengada
Mengapa kau tak jua berada?
Bukan pula janji semesta
Ketika samudera mengulum senyum
Riak gelocak ombak yang mengabar
Sampaikan pada daun angin tak selalu merayu
Walau ombak tak beranjak pulang
Pasang mengendap-endap datang
Mengapa?
Kulihat bakau telah merindu
Sapa lembut angin yang membawa
Kekasihnya ombak mendendang jerambai
Angin tak jua tiba, ombak hampir tiada
Pasang datang, paluh-paluh meninggi
Melarung sampan ke ujung hutan nipah
Ombak, izinkan aku pulang!
Bolehlah aku menanam barang sebatang
Agar jadi kenangan
Oppungleladjingga
April 042010. 20.57
(5) Sedalam Lautkah?
Kutambatkan sampan
di tiang penyangga dermaga tua
Aku hendak mengingat-ingatmu
Dalam lautmu
: engkau datang dari muara
tempat mengalir segala sungai.
tempat berdiam segala warna
tempat bertarung segala rasa
di hulu yang hening
Sering di antaranya hanyut patahan ranting
Pepohon waktu
Hingga ke hilir arus yang menderas
Bimbang datang mengulang
Lalu keruh, mengalir lumpur
Mengendap jadi delta
Lautmu kehilangan rasa
Bau garammu menjadi payau di paluh-paluh
Ikan-ikanmu menjadi takut di dua alam
Lautmu tak lagi seperti samudera
190415
23.30 tengah malam
Oppungleladjingga
(7) “Akulah laut! Akulah laut!” sahut Sang Pemungut
laut surut. pasir mengerut. anak-anak riang melempar cangkang. bermain perang
dan menari sembarang-sembarang
di pasir beting petang. kilau
mentari memantul dari pecahan beling ke dinding sampan yang bertaut pada tiang-tiang. angin memagut rerumput lembut, terbang lalu hinggap ke pucuk ketapang. mengajaknya berdendang hingga ke ujung petang.
biru langit sedikit sempit dikepit awan putih silih beralih. deru gelombang sayup-sayup terdengar nun jauh melabuh
jejak laut terbayang di sudut-sudut
tepi, sang sepi. cucut sembunyi. anak-anak mencari sambil bernyanyi menjauh dari tepi
menjemput sampan yang sengkarut di tengah pasir yang mengerut. apa yang hendak diturut? angin laut pun renggut pucuk bakau yang menghalau. mereka yang bertelanjang kaki, lari mencari.
memapah kepah dalam kantong daun nipah.
sayang, pasang akan datang sebentar lagi hingga jauh ke tepi-tepi
cangkang, cucut akan direbut laut
hingga petang bersungut. malam pun larut. “akulah laut.. akulah laut..akulah laut,” sahut sang pemungut kepah, cangkang dan cucut
Beting, 12.11.15
Oppungleladjinggaku
(7) Selaut Harap Pulang ke Ujung Selat
sebab gunung-gunung aku tersanjung
takkan di laut lamunanku silang sengkarut
kepada langit mendung senja terkurung
ingin kupetik senaamkan segala bayangan
Asam gunung bapak yang
membelah bambu
Menghanyutkan rakit dari hulu
tak bertepi
Malam merenung seperti hendak
keluar dari bubu
Dari mereka itu aku lahir
Menawan ragu yang membuncah
Menahan pilu yang hendak memecah
Kadang memulangkan angin ke darat
Pun mendatangkan badai ke laut
Sesaat langit kecut
Dinihari
Jumat,1515
00.23
Oppungleladjingga
(2) Kepada Laut-Mu
entah laut-Mu yang membuatku terpaut
Kusebut pada angin. Gelombang mencari pantai hendak menghela. Siapa yang memukau?
Pasir putih tempat berkaca, matahari telanjang
di hadapan siang, nyiur melambai-lambai
sepanjang pantai segara-Mu membuka rasa
rasa cemburu camar pada jermal
yang membuatku seperti sampan
tak mampu mengubah rindu
anak-anak laut
pada cangkang kepah, cucut
entah lautMu yang membuatku jadi begitu larut
8 Mei 2016
Oppungleladjingga
(3) Pasang Mati
Kulabuhkan sampan mendekat dermaga
Tiang-tiang merapuh, tali kutambat
ujung senja memerah di kaki langit sana
Laut itu sempat jadi tempat kita bicara
Tentang ombak, pasang yang berkali-kali datang
Angin yang kencang memaksa haluan berpaling
Sepenggal waktu telah mengoyak rindu
Pulang ke tanah asal yang terlupa
Ibu yang melahirkan kata sewaktu menyusu aku
Nyanyian ratapan mengumandang
Anak-anak sudah tak mengenal kampung neneknya
Menjadi asing di tanah ayah ibunya
Pasang laut terus berulang, musim berganti
Kemana hendak mengayuh sampan?
Angin selalu tak pasti membawa gelombang bimbang
Deli, 25 April 2018
Oppungleladjingga
(4) Padahal Pasang ‘kan Naik
Kemana angin
Sembunyikan ombak petang
Padahal pasang ‘kan naik?
Menatap ke laut lepas
Namun tak terlihat riuhmu menari
Mengayun-ayun sampan nelayan
Dan jejaring jermal selepas pantai
Kemana sapa sendaguraumu?
Yang kunanti ketika kau menghempas diri
Di batang-batang dan akar bakau
Hari ini sepertinya pasang ‘kan naik
Pupus rasa tiba menghela
Tapi tiada mengada
Mengapa kau tak jua berada?
Bukan pula janji semesta
Ketika samudera mengulum senyum
Riak gelocak ombak yang mengabar
Sampaikan pada daun angin tak selalu merayu
Walau ombak tak beranjak pulang
Pasang mengendap-endap datang
Mengapa?
Kulihat bakau telah merindu
Sapa lembut angin yang membawa
Kekasihnya ombak mendendang jerambai
Angin tak jua tiba, ombak hampir tiada
Pasang datang, paluh-paluh meninggi
Melarung sampan ke ujung hutan nipah
Ombak, izinkan aku pulang!
Bolehlah aku menanam barang sebatang
Agar jadi kenangan
Oppungleladjingga
April 042010. 20.57
(5) Sedalam Lautkah?
Kutambatkan sampan
di tiang penyangga dermaga tua
Aku hendak mengingat-ingatmu
Dalam lautmu
: engkau datang dari muara
tempat mengalir segala sungai.
tempat berdiam segala warna
tempat bertarung segala rasa
di hulu yang hening
Sering di antaranya hanyut patahan ranting
Pepohon waktu
Hingga ke hilir arus yang menderas
Bimbang datang mengulang
Lalu keruh, mengalir lumpur
Mengendap jadi delta
Lautmu kehilangan rasa
Bau garammu menjadi payau di paluh-paluh
Ikan-ikanmu menjadi takut di dua alam
Lautmu tak lagi seperti samudera
190415
23.30 tengah malam
Oppungleladjingga
(7) “Akulah laut! Akulah laut!” sahut Sang Pemungut
laut surut. pasir mengerut. anak-anak riang melempar cangkang. bermain perang
dan menari sembarang-sembarang
di pasir beting petang. kilau
mentari memantul dari pecahan beling ke dinding sampan yang bertaut pada tiang-tiang. angin memagut rerumput lembut, terbang lalu hinggap ke pucuk ketapang. mengajaknya berdendang hingga ke ujung petang.
biru langit sedikit sempit dikepit awan putih silih beralih. deru gelombang sayup-sayup terdengar nun jauh melabuh
jejak laut terbayang di sudut-sudut
tepi, sang sepi. cucut sembunyi. anak-anak mencari sambil bernyanyi menjauh dari tepi
menjemput sampan yang sengkarut di tengah pasir yang mengerut. apa yang hendak diturut? angin laut pun renggut pucuk bakau yang menghalau. mereka yang bertelanjang kaki, lari mencari.
memapah kepah dalam kantong daun nipah.
sayang, pasang akan datang sebentar lagi hingga jauh ke tepi-tepi
cangkang, cucut akan direbut laut
hingga petang bersungut. malam pun larut. “akulah laut.. akulah laut..akulah laut,” sahut sang pemungut kepah, cangkang dan cucut
Beting, 12.11.15
Oppungleladjinggaku
(7) Selaut Harap Pulang ke Ujung Selat
sebab gunung-gunung aku tersanjung
takkan di laut lamunanku silang sengkarut
kepada langit mendung senja terkurung
ingin kupetik senar agar bunyi gitar bergetar
mengiring lagu deruan ombak
dan sayup-sayup tawa anak-anak
menanti senja tiba
perempuan memanggang ikan di atas bara
asap membawanya penuh selera
di tapian nauli terpaut rindu hatipun surut
sebab gunung-gunung aku merenung
takkan dari bunian terawang jiwa ditenung
bukan karena laut yang membawaku larut
wangi sombam sekalangan selera terpaut
kepada kelam langit rindu birahiku bangkit
bertandan-tandan memerah buah sawit
andai pun kausangkakan kayuh sampan
mungkinkah sampai ke depan angin senja?
adalah haru yang membuatku cemburu, sebab rambutmu itu yang sebahu
tetapi kuhalau rasa ragu yang datang memburu
kepadaMu aku memulangkan segala puja-puji
Engkaulah mahapencipta segala rindu
ketika tiba aku bersujud padamu sang waktu
Kalangan, Sibolga
7.5.2016
Oppungleladjingga