oleh : Oppungleladjingga

Banyak berjalan, banyak yang dilihat. Mungkin ungkapan ini yang selalu tepat dan berguna kulakukan. Mengayuh pedal yang sudah mendarah daging bagiku adalah sebuah kesempatan saja untuk menuliskan begitu banyak kenyataan perjalanan fisik maupun batin (tentu menurutku) yang ingin kutuliskan jadi sebuah buku.

Bagiku kehidupan itu seperti bersepeda.
Roda belakang yang menjalankan roda depan. Roda depan yang mengendalikan arah. Mesinnya dari pengendara atau pengayuhnya dengan menggunakan kedua telapak kakinya yang menempel di pedal. Energinya dari betis dan lutut (engsel kedua kaki yang paling potensial pada manusia). Tentu berfungsi untuk menjaga keseimbangan. Dan mengayuh serta menuliskannya merupakan bagian darinya.

Buku adalah bagian dari pencarian diksi. Sebab walau bagaimanapun pengalaman indera di alam terbuka bagiku penting membaca untuk mengenal kata (leksikon) yang ada. Sekaligus mengetahui kata yang kuperoleh dari pengalaman di luar bahasa buku apa memang telah terdaftar sebagai diksi yang resmi dalam sebuah kamus. Baik itu kamus bahasa atau atau kamus sastera. Buku menjadi harapan untuk menjejakkan pengalaman perjalanan bersepeda menjadi sebuah kenangan dan catatan perjalanan. Perjalana dengan bersepeda seperti orang-orang dahulu. Dengan demikian nuansa kehidupan masa lalu memberi kesan dengan semangat pulang ke hulu. Banyak kisah perjumpaan dan harapan yang tertoreh di dalamnya. Melihat, mendengar dan merasakan. Dari sekian itulah coba kuuntai dalam larik-larik yang pendek. Semangat itu terlihat dari beberapa judul di bawah ini. Dan karenanya juga mengayuh tetap terjaga.

(1)

Aku yang Merindu

nyanyi kecipak air
pada ruas-ruas pembuluh, jatuh!
di ujung pematang gemercik memecah hening

sunyi malam mengirimnya hingga ke celah-celah dinding rumah berpapan coklat kehitam-hitaman
bersama sosok angin

dingin merayap di ujung kaki hingga ke ubun-ubun
mengusap wajah lelaki tua di lapo
menguapkan hangat air di tungku

tangannya yang renta
mengelus-elus linting dedaun jagung
menjumput saus tembakau
kabut terus menari-nari di antara cahaya pijar
empat puluh watt yang tergantung di tiap tiang sudut persimpangan

siur nyiur rampak pelepah rumbia
laksana petikan dawai
mengiring nada orkestra ruang paling malam yang diam
yang sempat sesaat mengaruh ringkih

meskipun ragu
dinding siang yang menyisakan hangat
aku tak sempat bermunajat padaNya
pada angin yang tiba
pada suara-suara serangga senja
dari rintih pepohonan getah

dalam duka pepohon kemenyan
yang memupus dari bukit-bukit di atas sana
cengkih dan kayu manis, tinggal nama
nun kampung simangumban jae

rinduku membeku
rindumu membatu
siapa yang tahu?
kita telah jauh dipisahkan oleh waktu

Pahae, Jan 2015
oppungleladjingga

(2)

Kepada Bangau yang Memukau

mari berdendang senang-senang
kepak-kepakmu bergoyang di atas pematang
terbang, hinggap di pelepah pisang
terbang…dan terbang seperti layang-layang

aku mabuk kepayang di ujung petang
karena kaubawa hatiku riang tiada kepalang
berkeliling memutar-mutar pematang
sesekali pulang ke sarang
nun di pucuk-pucuk pohon pinang

bangau yang kusayang,
bila kau hinggap lagi di bukit seberang?
bawa aku mengulang kenang rindu tak terbilang

bangauku sayang…
bawalah aku pulang ke pematang yang
telah kering karena kemarau panjang
sebelum surut matahari, petang pun pergi

oppungleladjingga
dusun aman damai
190315

(3)

Seteguk, Turun Minum

andaikan nusantara itu
hamparan sawah
yang mulai berbuah
di dusun tunggurono

rambutan merah
yang manis
lekang tak berair
di kampung tanjung

jembatan panjang
yang melintang di atas
sungai wampu yang tenang

bunyi sentuhan angklung
rampak akordion kecik
seketika melantun tanjung katung

gaung harmoni kehidupan
dari balik rumpun-rumpun aur
di huta tinggi

tarian kipang, kerang dan kepah
di pangkalan biduk
pasir putih serdang bedagai

aku akan bangun lebih pagi
menjaga embun setiap hari
agar tak jatuh karena terik matahari

sunday bike
dusun tunggurono
24082014

(4)

Entah ini Puisi atau Bukan?

yang kutanam kali ini
di sekitar halaman rumahku
tumbuh jadi pepohon rindang
menaungi sisi beranda depan

di kala terik mentari datang
banyak orang berteduh
dan pembecak yang ngetem
menanti penumpang

ada sepetak tanah di belakang
tempat memelihara ikan
dan itik serati yang mengiring
anak-anaknya pergi ke kolam

ya…cukuplah sebuah keluarga
tak ditimpa terik ketika siang
tak terlalu basah ketika hujan
bertiang bambu beratap nipah

kalau pun ada tamu yang datang
ada tempat bersila sekedar bercengkrama,
menukar rasa,
menunggu waktu berbuka

yang kutanam kali ini
di sekitar halaman rumahku
tumbuh beraneka warna bunga
selalu indah dipandang mata

sejuk terasa hati sesiapa yang lalu
sebab ia hendak turut menjaga
rahasia nama-nama
dari luka dan bencana api manusia

ya…cukuplah untuk istri dan anak-anak
menabur cinta menebar rasa pada yang beraneka,
tanpa bibit curiga
di tanah kata tak perlu bernama

oppungleladjingga
16ramadhan1436H