Sebagai “saksi” setiap perjalanan mengayuh pedal, aku suka memotret kehidupan orang-orang kecil yang aku lihat dan aku kunjungi. Khususnya tiga klas masyarakat dalam ajaran marhaen, yakni: petani, buruh dan nelayan. Sebab mereka adalah bagian dari keluargaku juga. Itu yang membuat semangat bersepedaku terus menyala. Melihat fakta ketimbang kata, seperti ungkapanku dalam kameraku di bawah ini.
Memotret_Matahari
Dalam kameraku, anak-anak nelayan bermain cangkang, sebelum terik siang tinggi menjulang.
Membakar ubun-ubun nelayan.
Menanti pulang ayah-ayah mereka yang pergi sejak kemarin petang, melaut. Mencari ikan, kerang dan udang.
Memasang jaring di tengah gelombang pasang. Membentang layar ke samudera lepas pandang. Melempar umpan di tengah kegelapan panjang. Sepasang lentera memancar terang, kadang cahaya itu redup dan kian menghilang
dari gerak-gerik, hilir mudik sampan nelayan.
Di tengah dingin malam, laut adalah kehidupan yang membawa segala waktu ke dalam rindu pelukan. Rindu dekapan. Rindu kehangatan yang dilawan dengan tanggung jawab dan harapan. Anak dan bini yang menanti di depan paluh tak pernah berkeluh. Sejak subuh kapal mulai menangkar jangkar.
Yang menanti, yang menukarkan angan jadi kenyataan. Malam juga sesungguhnya sebuah rahasia Tuhan dalam menyayangi si nelayan,
di tengah ayunan ombak dan angin selatan.
Dalam kameraku, anak-anak bertelanjang dada
Kulit tubuh mereka hitam legam mengangkat ikan dari dalam sampan ke tempayan.
Camar datang mencakar
Tiang layar perlahan bergetar
Sebentar lagi cahayanya mulai membakar
dapur-dapur segala salur makanan di daun-daun hingga semak belukar.
Dalam kameraku kaurajut isyarat alam, angin memulangkan nelayan ke peraduan. Memecah-mecah rindu dalam kehangatan matahari yang telah membiru. Langit-langit rerumputan bersujud di hadapan cahaya yang penuh gairah, menyambut datangnya pagi. Kerut-kerut langit seumpama arakan awan hitam yang mengirim tanda sebentar lagi hujan akan datang? Membawa segala rindu, kuyub di tengah lautan ikan-ikan.
Padahal matahari telah dicuri oleh tangan seorang nelayan yang pulang pagi ini.
Dalam kameraku, aku meraut waktu ingin selalu berbincang padamu bahkan dalam setiap nafasku. Kau adalah kekasihku yang diberi Tuhan untuk mengajarkan aku kesungguhan hidup tanpa harus ragu. Tanpa harus meniru-niru, gamang dan tak menentu. Seperti lautmu itu, yang penuh gelombang dan badai, tapi terus menyimpan rahasia kelanjutan hidup nelayan dan sampan di tengah lautan.