Oppungleladjingga

            Kata yang terdiri dari empat huruf dengan keseimbangan yang paralel, dua vokal dua konsonan, bila dilihat kenyataannya kini semakin jauh dari kehidupan dan  substansi pergaulan manusia (susila) yang beradab. Dalam suatu peradaban ilmu pengetahuan dan teknologi era revolusi industri 4.0 dan era tatanan sosial 5.0. Dalam konteks kehidupan sehari-hari (mungkin kita selalu mendengar teman atau orang lain berbicara soal malu, entah mengapa kita atau sesama kita-kita sering menyampaikan dengan kalimat pendek jangan malu-malu atau sebaliknya jangan tidak tau malu. Keadaan waktu dan tempat dalam pemaknaan kalimat bisa menjadi semakna, berlawanan, bisa bersanding bahkan bertanding. Akan tetapi, dari kedua kalimat tersebut terselip kata yang  memiliki inti pesan tentang hakikat malu). Malu direpresentasikan dalam perimbangan yang kreatif antara nalar (akal logika) dan rasa empati khususnya dalam bentuk kalimat pertama. Sebaik-baiknya sesama manusia kata yang satu ini menjadi akses sebagai pengakuan atas harkat dan martabat –selanjutnya menghamba pada Allah.

            Dinsmika kehidupan manusia kian bergerak sampai ke bandulnya. Ruang dan waktu juga tentang keberlangsungan sebagai perhormatan atas diri, orang lain, masyarakat dan bsngsa. Dewasa ini sumbangsih sains dan teknologi banyak yang membantu kehidupan manusia tapi tidak sedikit juga menjadi penyebab kemerosotan substansi makna. Warna sains dan teknologi yang diklaim sebagai ekploitasi Barat mengangkut kebudayaan dan paham-paham kemanusiaan yang sekuler dicela-cela pemikiran Timur yang sakral dan profan. Perubahan menjadi kata kunci. Pola-pola lama yang dianut Timur seperti etika, tata tutur, santun prilaku yang merujuk pada religiositas, adat istiadat, tradisi pun “menguap”. Beberapa ahli menyebut hal ini sebagai kemerosotan (degradasi) dan pergeseran arah dan pandangan hidup dari kebersamaan menjadi indivifual, dari bergotong royong berubah mengambil peran sendiri-sendiri. Bercampurnya nilai yang baik dan nilai yang buruk. Budaya sinkritis maupun yang akulturasi. Namun dalam kenyataan kata malu hanya bermakna pada leksikon dan terbiasa mrnjadi klise. Perubahan tidak hanya mengakibatkan “keterbukaan” tetapi terjadi pertukaran nilai yang belum semestinya termasuk soal-soal peradaban dalam hal ini etika individu dalam konteks malu. Kata malu sedang tergiring kepinggir-pinggir kehidupan manusia. Hanya mereka yang masih menekuni nilai-nilai dan membatasi yang hak dan batil itulah yang berjuang secara gigih untuk mengangkat dan mempertahankan kata tersebut.

            Penelaahan manusia untuk kepentingan kemanusiaan dan pemanusiaan (antroposentrisme) cenderung “meringkus” orang-orang ke dalam keterpedayaan ruang yang sempit dan terkotak-kota (spesialistik, apalagi yang memang sudah dibungkus dari humanisme Sartre). Akibatnya keberadaan manusia secara utuh dalam dunia sebagai makhluk yang berketuhanan (Teosentrisme) guna menumbuh kembangkan visi keilahian menjadi terabaikan dari suatu komunitas. Kota adalah contoh khusus. Kota yang merupakan salah satu bagian dari corak kebudayaan Yunani memang bagaimanapun tidak lepas dari persaingan dan perebutan kesempatan ekonomi sampai ke tingkat politik. Melibatkan banyak orang , para profesional, birokrat sampai perancang mode apa saja. Kota yang diibaratkan sebagai pedang bermata dua : ia punya potensi membantu manusia tapi bukan tidak mungkin memperbesar wilayah isolasi manusia dari komunitasnya dalam suatu prestasi pahit. Intensitas material dan rasional terwujud dalam fragmentasi yang kering. Inilah penyebab-penyebab manusia menjadi alat kerja yang terus menerus (rutinitas), dari persoalan yang “halal” sampai ke “penghalalan yang tidak halal” menjadi ajang komunitas yang dianggap jadi wajar-wajar saja. Predikat kata malu tampaknya mengalami penurunan dalam praktik hidup sehari-hari sehingga muncul pertanyaan besar apa kita masih punya rasa malu? Contohnya korupsi. penyalahgunaan jabatan dan profesi.

            Malu adalah persoalan perasaan yang tentunya sangat subyektif sekali. Tetapi jangan lupa justru itu adalah dasar tumbuhnya nilai-nilai terutama integritas, kesetiaan dan keimanan. Perasaan (wijdan) seperti itu dapat saja bergelora ketika orang menyadari bahwa dirinya sebenarnya adalah manusia. Namun bukan berarti suatu sikap yang masih lugu, masygul dan taqlid dengan menutup pintu mata-hati dari pengaruh luar. Adalah satu pesan Ibnu Mas’ud Ra. “Perteballah rasa malu kalian pada Allah SWT setebal-tebalnya. Peliharalah kepala dari apa yang didengar, peliharalah perut serta apa yang dikandung, ingatlah akan mati” (Minhajul Muslim,137).

            Ya, memang rasa malu sedang berubah arah, dari ritus ke seremonial, dari yang (menjadi) urgen ke hal yang tidak (begitu) penting. Padahal malu, adalah bagian dari keyakinan. Sedangkan ke mana keyakinan kita?