Oleh: Zulkarnain Siregar 

Merebut kemerdekaan dalam arti menyeluruh, sudah dilakukan oleh para pendahulu bangsa dengan tanpa pamrih. Kemerdekaan adalah kata lain dari pemindahan kekuasaan dari penjajahan bangsa lain kembali ke bangsa yang memiliki hak sepenuhnya terhadap wilayah penduduk pemerintahan dan kedaulatan melalui perjuangan fisik, diplomasi dan pengakuan. Dari pemerintahan asing kembali ke pemerintahan bumi putera. Dari kehidupan yang dikendalikan hingga perubahan ke kemandirian secara total. Persis dalam peristiwa inilah secara sadar kita mengajak diri untuk merenung sejenak sudah seperti apa kemerdekaan yang telah kita isi selama ini?

Kini, Indonesia telah melaluinya tujuh puluh sembilan tahun merdeka. Tentu semua warga tahu arti kemerdekaan secara harfiah. Arti yang menjadi dambaan setiap warga bangsa untuk merasakan kemerdekaan bertanah, air dan berbangsa. Wujud yang dapat dirasakan dengan  oleh pikir dan olah rasa yang sehat baik secara fisik maupun psikis. Walau kata itu sendiri masih terikat secara formalitas dengan makna sosial politik dan ideologi  akan tetapi siapa pun sependapat kalau hal itu bukanlah pemberian yang cuma-cuma kepada suatu bangsa, suatu masyarakat dan juga kepada seseorang manusia sebagai mana hak hidup yang di berikan Tuhan kepada manusia.

Layaknya dalam kehidupan seseorang, kata tersebut merupakan kunci bagi setiap tindakan, kebijakan, guna melangsungkan dinamika kehidupan dengan menjungjung tinggi rasa kermanusiaan. Nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan bangsa. Dengan demikian tentu saja kata itu pula yang merujuk secara pasti terhadap apa yang disebut dengan hak yang hakiki, disamping kewajiban-kawajiban apalagi tanggung jawab. Bagaimana mungkin tanggung jawab seseorang kita tuntut, kalau kemerdekaan yang mendasar seperti berpikir, berbuat, berkreasi dan berkarya seseorang tidak hadir menjadi peradaban yang maju. Maju dalam konteks kemerdekaan bukan hanya dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologinya saja. Namun unsur-unsur kebudayaan lainnya seperti pertanian, transportasi, kekerabatan, organisasi sosial, kesenian, bahasa dan mata pencaharian. Kelayakan hidup juga menjadi bagian dari kemerdekaan. Kesehatan dan jaminan sosial serta pendidikan menjadi alas dari penyelenggaraan kemerdekaan itu sendiri secara hakiki. Masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan adalah cita-cita yang adiluhung dari makna kemerdekaan itu sendiri. Pembukaan UUD 1945, Isi dan Ideologi Pancasila menjamin hak-hak kemerdekaan itu untuk setiap warga. Seyogianya semangat tersebut terus bergetar dalam jiwa penyelenggara negara mulai dari presiden hingga kepada dusun.

Ketika menjelang hari jadi negeri ini, kita mau tidak mau terusik dalam sentakan kebijakan terhadap bangsa, negara, dan agama, yang dalam ingatan saya ada beberapa kata yang berhubungan dengan proklamasi dan kemerdekaan. Pertama, sebut saja kemerdekaan dalam arti yang menyeluruh. Ini sudah dilakukan oleh para pendahulu kita dengan tanpa pamrih dan dengan niat yang ikhlas. Kedua, mempertahankan kemerdekaan secara luas (bermakna dan dirasakan oleh seluruh warga bangsa manfaat merdeka) dan ketiga, mengisi kemerdekaan yang selalu kita semboyankan dengan pembangunan. Proklamasi dan kemerdekaan : dua kata yang selalu akrab mendampingi kita setiap bertindak, mengambil keputusan apalagi dalam menjatuhkan sanksi. Tulisan ini bermaksud mengajak  kita bisa berdialog, seperti apa yang pernah dilakukan oleh Syahrir, Soekarno dan Hatta yang merupakan pendiri bangsa. Kita masih butuh pemikiran dan semangat nasionalisme mereka. Kita harus tahu apakah yang ada kini masih murni atau sudah imitasi. Cita-cita mereka termasuk Tan Malaka jangan sampai kita lupa, lantas diselewengkan hanya untuk kepentingan kelompok atau perorangan, Indonesia bukan negeri yang kecil, apalagi kini sudah menggantikannya dengan nama Nusantara,

Kemerdekaan adalah kata lain dari ‘pemindahan kekuasaan’ yang menguasai orang banyak secara pribadi–pribadi. Kemerdekaan yang juga bagian dari kata abstrak, secara tidak langsung merupakan image manusia yang sesuai dengan realisasi situasi. Perjuangan kemerdekaan telah ada dalam sejarah umat manusia, dan itu terus berlangsung sampai kini, seperti di Amerika, Eropa, dan Asia juga Afrika. Sehingga selalu dikatakan bahwa merdeka adalah upaya kemanusiaan semesta dalam meniti dan meneliti harkat manusia, disamping usaha menjamin kelestarian pemeliharaan kebebasan dan martabat sebuah bangsa. Msalahnya tinggal tergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat yang begitu majemuk yang dimiliki bangsa ini. Konflik sosial dan kepentingan politik semestinya sangat diupayakan agar benturan-benturan nilai tidak terlalu besar, sehingga jurang pemisahnya tidak terlalu lebar menganga, yang kemungkinan dapat menjebak nilai-nilai dan aspirasi kebangsaan dalam bentuk yang anarkis.

Sikap Taat Asas         

Dilihat untuk masa sekarang ‘pernyataan, mempertahankan, kemerdekaan’dan ‘ mengisi kemerdekaan’ selalu saja tidak simetris. Ada sikap yang mendua dari para politisi dan pengambil keputusan apalagi masyarakat, dalam menentukan arah pembangunan kebudayaan bangsa. Satu sisi kita menafsirkan kemerdekaan yang kita peroleh itu dapat dipertahankan lewat sistem pelestarian institusi-institusi tradisi atau dalam bahasa sederhananya warisan sejarah bangsa perlu untuk dipelajari para generasi muda agar mereka mengetahui bagaimana beratnya perjuangan para pendahulu kita dalam upaya merebut kemerdekaan. Sejarah Bangsa memang harus ditulis dengan jujur, agar memahami kemerdekaan juga tidak bias. Persoalan ini tentu tidak sederhana jika sejarah itu sendiri disajikan dalam bentuk deskripsi. Ada hal-hal penting yang hilang atau dihilangkan demi menjaga nama baik. Menghilangkan apa-apa saja yang termasuk dalam perskripsi. Andai sejarah itu disajikan apa adanya sesuai dengan apa yang berlangsung dalam waktu itu juga, mungkin saja tidak timbul permasalahan terhadap sejarah bangsa. Itupun dengan syarat terlepas dari penafsiran atau terjemahan para penulis sejarah, pelaku atau ahli sejarah itu sendiri.. Hal inilah yang membuat kepercayaan terhadap sejarah menjadi ambigu. Kita terpaksa sampai dihadapkan oleh berbagai ketergantungan yang sebenarnya juga merupakan warisan para kolonial, melalui tulisan-tulisan atau manuskrip yang ditulis oleh penulis asing. Mungkin itu tidak kita sadari.

Sedangkan pada sisi lain kita bersikap kurang konsisten dalam upaya ‘mengisi kemerdekaan’. Dikatakan bahwa pembangunan membutuhkan cara-cara yang tidak primordial modernisasi, berpikir mondial, kebebasan berpendapat, kemerdekaan berbudaya dan apa saja yang termasuk perangkat keras yang canggih dan perangkat lunak dalam upaya memajukan bangsa. Persis dalam peristiwa inilah kita secara sadar atau tidak “telah” mengajak diri dan orang lain untuk beramai-ramai mengabaikan bukti-bukti/jejak peningalan sejarah dan warisan budaya, kesenian tradisi, kesusasteraan lisan dengan menggantikannnya lewat budaya-budaya popular bangsa lain yang ansich bukan milik kita. Sebagai bangsa yang kaya akan budaya secara sosiologi, demografi dan geografi telah dijelaskan tentang keadaan kita yang belum siap menerima segala bentuk kemajuan. Kemajuan yang bersumber dari  sumber daya alam kita. Mungkin makna kemajuan pun kita pahami dengan mengadopsi milik orang lain, tetangga atau bangsa yang sama sekali asing dengan kondisi tanah, air dan alam kita, Kita pikir, jika terjadi benturan-benturan nilai kebudayaan dan kebangsaan, itu cukup dengan melakukan pembenahan disektor perekonomian atau stabilitas dan ketertiban warga. Padahal cara mengatasi persoalan seperti ini tentu saja tidak persis dan tidak deduktif. Sebab masalah kebudayaan dan kebangsaan di negara ini adalah hal yang kompleks dan sangat membutuhkan pemahaman yang baik. Misalnya saja masalah kebudayaan daerah yang majemuk tentu tidaklah didekati dengan kerangka dan konsep yang seragam, atau dengan mengidentifikasinya secara kuantitatif. Dan tidak melulu dijadikan obyek wisata demi pendapatan negara. Banyak kearifan lokal yang merukan warisan budaya perlu dilestarikan menjadi nilai-nilai hidup bangsa, seperti gotong royong, kenduri budaya, dll. Lihat saja generasi hari ini mereka bukan cerminan warisan leluhur kita lagi. Mereka bagian dari dunia luar yang asing dengan dirinya sendiri. Mereka lebih fasih dengan tempat-tempat di luar,  peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar dari pada apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. Mereka lebih senang mencomot bentuk-bentuk mode kehidupan asing daripada memahami hidupnya sendiri. Acuan hidup para leluhur kita sudah dianggap mereka tidak relevan lagi dengan arus yang mereka katakan ‘moderen’.

Banyak halaman-halaman yang besar dalam sejarah umat manusia tentang perjuangan kebebasan dan kemerdekaan. Ini timbul dari keyakinan dan jiwa demokrasi. Manusia berusaha melepaskan batasan-batasan yang dibuat secara arbitrer dan kurang tanggung jawab, misalnya sistem feodalisme, kapitalisme, koloni, sentralisasi dan totalitas.

Mengisi Kemerdekaan dengan Berkarya

Mengisi kemerdekaan memang gaungnya adalah karya. Berkarya menjadi untuk memberi kontribusi tidak hanya kepada diri sendiri, tetapi untuk orang lain, masyarakat dan bangsa. Setiap orang sebagai warga bangsa dapat mengambil peran apa yang menjadi pilihan pekerjaan, profesi, di lapangan pengabdiannya. Peran tersebut tentu baik langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. Saya kira sudah waktunya kita menentukan sikap yang konsisten dalam setiap denyut nadi dan aliran darah yang kita peroleh dari bumi pertiwi ini untuk tanah Nusantara.

Kebudayaan kita miliki hari ini  juga sudah sepantasnya  memperoleh hak yang sama untuk bisa memerdekakan dirinya setara dengan politik dan ekonomi. Kita bisa mempertahankan kondisi budaya daerah tanpa harus mengorbankannya untuk masuk arus globalisasi. Kita mampu mengidentifikasi kebudayaan nasional tanpa harus mencomot budaya bukan Indonesia.

Pemindahan budaya seperti apa yang dimaksud dengan ‘pemindahan kekuasaan’ adalah hal yang wajar dengan syarat ‘jangan sampai merugikan kebudayaan yang ada: sebagai warisan para leluhur’. Tapi dalam pemindahan atau sebutan ilmiahnya transformasi ini kita hendaknya jangan selamanya nrimo atau pasrah dalam menghadapi goncangan-goncangan nilai. Ketekunan kembali rasa mencintai negeri ini dengan berbakti pada masing-masing kebudayaan juga merupakan jalan panjang membangun peradaban bangsa.

Prinsipnya semua orang, apapun profesinya, bagaimana pun keterbatasannya, secara jelas dia akan mendambakan kemerdekaan, apalagi bagi mereka yang sepanjang hidup atau sebagian hidupnya diwarnai oleh intimidasi dan sistem doktrin. Seorang ilmuan tidak akan dapat mengalihkan ilmu-ilmunya tanpa terlebih dahulu melakukan interaksi antar dan interdisipliner. Seorang yang merdeka dalam berbudaya sudah tentu sangat menghargai solidaritas dan mau bekerja untuk bidang yang ditekuninya selama ia bebas berbakti dengan ilmunya. Tapi bukanlah pula berarti orang yang bersikap solider lantas mengorbankan sikap-sikap yang luhur, jujur, tulus yang dimilikinya.  Sebab kita semua berangkat dari titik itu. Ya atau tidak, yang jelas kita perlu merdeka dalam berbuat, berkarya, berpikir, berpendapat, untuk kelangsungan kita dalam mengisi kemerdekaan. Tentu tetap dalam koridornya. Semoga kata proklamasi tidak cuma diproklamirkan dalam sejarah, tapi dalam kehidupan berbudaya.

 

*) Penulis adalah seorang penyair dan pendidik, tinggal di Medan