MEDAN | ARUSMALAKA.COM

Kemenyan sejauh ini terkesan asing di masyarakat moderen, mendengarnya saja seolah alergi lantaran mindset orang ‘jaman now’ seperti telah dijejali cerita-cerita sumbang, entah itu dicap mistik, klenik bahkan ada agama tertentu menganggap hal yang berkenaan dengan kemenyan adalah musyrik.

Kemenyan (Menyan, Setanggi, Hio, Ratus) sering juga disebut Olibanum, dalam bahasa lokal, biasa disebut Haminjon (Styrax paralleloneurum). Pohon endemik Sumatera Utara ini penghasil getah aroma wewangian berbentuk kristal yang digunakan dalam industri dupa, hio dan parfum. Kemenyan tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi pada ketinggian 60 sampai 2100 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini tidak memerlukan syarat istimewa jenis tanah.

Kemenyan sudah diperdagangkan di Semenanjung Arab dan Afrika Utara selama lebih dari 5000 tahun. Sebuah mural yang melukiskan karung kemenyan diperdagangkan dari Tanah Punt menghiasi dinding Kuil Mesir Kuno Ratu Hatshepsut yang meninggal pada 1458 SM.

Pelabuahan Barus (kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) sebagai kota Emperium dan pusat peradaban pada abad 1-17 Masehi, sudah disinggahi oleh perahu-perahu layar antar benua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan kamper (kapur barus) – sebagai pelabuhan besar menuju Timur Tengah hingga Betlehem.

Menurut catatan sejarah, salah satu pusat perdagangan kemenyan di wilayah ini pada masa itu adalah pantai Barus (Fansur) sebuah pelabuhan penting di pantai barat pulau Sumatera.

Cina dan India sejak abad pertama telah membawa kapur barus (dryobalanops camphora) dan kemenyan dari Tapanuli. Kegunaannya untuk bahan pengawet Mummi para raja di Romawi dan Mesir. Pada masa itu – sampai beberapa abad kemudian, kemenyan dan kapur barus asal Tapanuli ini tergolong barang mahal yang nilainya setara emas, konon bahkan lebih.

Pemanfaatan kemenyan telah dikenal luas, semisal kemenyan sumatrana (Styrax benzoin Dryander) memiliki banyak senyawa bioaktif seperti asam sinamat dan turunannya yaitu senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik dan obat-obatan, juga dipakai dalam aroma parfum dan aroma terapi, selain bahan minyak esensial, perawatan kulit dan lain-lain.

Dalam ranah spiritual, kemenyan dipakai di gereja Kristen Ortodoks Timur, Oriental Ortodoks dan Katolik. Kristen dan Islam memakai kemenyan dengan cara dicampur minyak guna mengurapi bayi yang baru lahir, inisiasi. Selain kerap digunakan di kalangan raja dan pemuka agama serta mpu, resi di Nusantara pada masa lampau.

Pentingnya kemenyan serta kapur barus sebagai komoditas dagang juga
dapat ditelusuri melalui catatan perjalanan yang ditulis oleh para pedagang asing seperti bangsa Armenia, Tamil, Arab, Persia, China, Melayu, Jawa dan Eropa. Selain itu historiografi mengenai kapur barus dan kemenyan juga telah diteliti, ditulis, dan diterbitkan oleh para peneliti dalam skala internasional. Catatan perjalanan bangsa-bangsa asing tersebut serta berbagai karya tulis karya para peneliti merupakan literatur penting yang harus diulas dan dikaji ulang.

Ichwan Azhari dalam jurnal sejarah “Politik Historiografi Sejarah Lokal: Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera Utara” (Jurnal Sejarah dan Budaya, tahun kesebelas, Nomor 1 Juni 2017: 10), mengungkap, di antara banyaknya jenis komoditas internasional, ada dua jenis komoditas hasil hutan has Nusantara yang punya daya pikat tinggi.

Selain pendapat Claudius Ptolemaeus di abad ke 2 (seorang ahli geografi, astronom, dan astrolog Romawi), juga asal-usul kemenyan dan kapur barus nampak pada prasasti Tamil yang terdapat di Desa Lobu Tua, Kecamatan Andam Dewi, kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada tahun 1873 oleh kontrolir Belanda di Barus bernama Dr. J Brandes.

Meskipun kejayaan perdagangan kemenyan dan kapur barus di Sumatera sudah lampau, namun hingga kini kemenyan dan kapur barus masih diperdagangkan di Sumatera.

Sampai sekarang, pohon kemenyan dan kapur barus masih dapat ditemui di hutan-hutan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Tapanuli Utara, Barus, Aceh Singkil.

Area hutan kemenyan yang masih aktif terdapat di Humbang Hasundutan terutama di kecamatan Pollung, Parlilitan, Dolok Sanggul, dan Sijamapolang. Di Tapanuli Utara di kecamatan Parmonangan, Sahae, dan Sipahutar. Untuk kabupaten Toba Samosir di kecamatan Borbor. Di lintas kabupaten di Danau Toba itu terdapat hutan kemenyan sampai ke Pakpak Barat yang cukup luas.

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara, Pada 2017, luas tanaman kemenyan 22.912,13 hektar, dengan produksi 6.177,036 ton.

Roganda Simanjuntak, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, menyampaikan, saat ini mereka berupaya mengembangkan ekonomi masyarakat adat melalui usaha kemenyan agar nilai tambah meningkat. Dilansir dari mongabay.co.id (25/06/2020).

Selama ini masyarakat adat menjual getah ke tengkulak (pengepul). Mereka berupaya merancang biar petani mengolah sendiri jadi bahan setengah jadi, untuk kirim ke pembeli utama. Dengan begitu, bisa memotong selisih harga tengkulak. Ini perlu dukungan dari banyak pihak terlebih pemerintah daerah, dengan kebijakan-kebijakan yang seyogyanya pro masyarakat adat, terutama petani kemenyan.

Harga per kilogram getah kemenyan kualitas bagus Rp. 300.000. Getah kemenyan bukan unggulan Rp. 100.000 – Rp. 200.000 per kilogram. Konon, daya beli pembeli Singapura mencapai Rp. 2 juta per kilogram. Panen raya bagi petani kemenyan setahun sekali antara bulan Desember, Januari atau Februari, dengan periode antara dua hingga tiga bulan panen raya.

Tengkulak kampung menjualnya ke penampung besar di kota kabupaten, dan tengkulak kabupaten mengirim ke Semarang, Jakarta, juga mengekspor ke Singapura, Amerika dan negara Eropa.

Menurut perhitungan AMAN Tano Batak, pendapatan langsung daerah dan pendapatan tidak langsung, mencapai ratusan miliar rupiah. Dengan perincian, perhitungan pendapatan petani kemenyan per keluarga, rata-rata Rp. 3 juta per bulan, dengan kondisi hutan kemenyan masih bagus jauh dari monokultur.

Dengan rincian, paling sedikit ada 100 keluarga bertani kemenyan, dikali Rp. 3 juta pendapatan per bulan perkampung, dikalikan ribuan kampung di seluruh kecamatan dan kabupaten di wilayah Danau Toba. Jika dikelola secara baik, pendapatan asli daerah akan meningkat, mulai dari pajak penampung besar atau tengkulak, hingga transaksi ekonomi petani kemenyan.

Masih mau menutupi komoditas ekomomi rakyat dengan jargon-jargon sumbang dengan orientasi pemiskinan massal atau pemerintah turun tangan dengan konsep ekonomi kerakyatan tanpa berpikir keuntungan golongan semata? (Jun)

Sumber:
– p2k.stekom.ac.id
“Ensiklopedia Dunia”
– ResechGate
– BBC News
– HarapanRakyat.com
– negerirempah.org
– merdeka.com
– mongabay.co.id
– Hita Do
– Shopee