Oleh: Zulkarnain Siregar

Perekayasaan pembangunan kebudayaan dalam arti luas mempunyai hubungan dengan pemaknaan kata dan istilah yang secara langsung menjadi bagiannya. Program pembangunan yang dilaksanakan oleh pengelola negara tentu mengusung banyak istilah dan ungkapan yang dihadirkan ketika kabar tentangnya disampaikan secara resmi baik dalam bentuk tertulis maupun secara lisan melalui media resmi. Banyak istilah, ungkapan dan padanan kata dalam bentuk nyata tidak langsung dapat dipahami. Apalagi yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Makna kata sering juga berupa tafsir dari wujud prilaku dan benda yang cenderung tidak sesuai dengan krnyataan. Pemaknaan bahasa [politis] selalu  bergerak dari satu kutub ke kutub lain, dari proses biokultural diganti dengan biomaterial dan dari suatu yang tanpa proses dijadikan sebagai tujuan dengan target/capaian fulus. Terkesan bahasa menjadi tidak berenergi karena makna terabaikan dari potensi lugas dan logis. Perannya hanya sebagai jargon terlalu dominan ketimbang sebagai media  komunikasi yang efektif. Hubungan bahasa dan fakta menjadi lebih dari itu, mampu mempertukarkan realita dengan nilai rasa.

            Dari dulu para pemikir percaya bahwa sastera dan seni disamping filsafat dan agama adalah sumber penumbuh nilai rasa. Nilai rasa adalah sebagian indera manusia di samping akal-budi-pikir dan nafsunya. Dalam filsafat kita bisa menemukan nilai yang kemudian berkembang menjadi filsafat nilai (estetika). Melakukan pertimbangan nilai adalah kebiasaan hidup sehari-hari bagi kebanyakan orang. Kehidupan memaksa kita untuk mengadakan alternatif-alternatif, mengukur benda dari segi baik dan buruk dan membandingkan dari segi benar dan salah. Setiap orang mempunyai rasa nilai yang membentuknya dalam suatu tatanan nilai pada suatu kelompok yang lebih besar (masyarakat).

            Nicolai Hartman pernah mempertanyakan: “Apakah yang harus kita perhatikan untuk bersama mengambil bagian dalam dunia nilai? Pada umumnya apakah yang berharga dalam kehidupan dan alam ini? Apakah yang harus kita perbuat dengan memahami dan menghargai sesuatu, sehingga kita menjadi manusia, dalam arti kata sepenuhnya?” Pertanyaan di atas tentu bukanlah hal yang langka dalam kebudayaan kita. Bagaimana kita dapat menilai kebudayaan yang dalam arti kata sepenuhnya? Sementara kita sendiri melihat kebudayaan itu sama halnya seperti pangkal benang yang kusut, mencari bagian-bagian yang dapat diintrodusir sebagai asal pun sukar.

            Pertukaran dari realita menjadi  nilai-nilai rasa memang terlalu dipaksakan. Contoh kata gusur menjadi geser. Prilakunya gusur akan tetapi dinyatakan dalam bahasa kekuasaan geser. Makna dan fakta cukup membingungkan. Makna menjauh dari fakta suatu kebudayaan yang lahir pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik rakyat. Obsesi selalu muncul sebagai akibat dari kelambanan kita memisahkan kekuatan budaya dan kekuatan militer dalam pertahanan suatu bangsa. Memang dalam suatu perumusan komitmen fakta yang dikongkretkan dalam realita selalu sejalan dengan nilai, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan secara filsafah antara realita dan nilai. Oleh sebab itu dalam pembangunan kita sekarang istilah konotasi pembangunan dalam pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development sudah menjadi populer. Dan pendekatannya pun masih sama dengan pendekatan Orde Baru, yakni trilogi pembangunan (pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan)

            Konotasi pembangunan selalu timbul akibat nilai rasa yang semakin jauh dengan fakta-fakta kemanusiaan. Sekadar untuk menghaluskan situasi sehingga menjadikannya sebagai hallusinasi. Penghalusan itu selalu diperalat dengan bahasa-media informasi yang komunikatif dan meluas.

            Istilah – istilah pembangunan selalu dirampatkan dengan fulus (value) dengan menyampingkan proses. Suatu kendala kebudayaan masyarakat adalah kita hidup dalam masyarakat yang tidak terbiasa untuk tertarik pada hal-hal yang tidak langsung mendatangkan manfaat secara langsung. Kadar ilmu pengetahuan dan teknologi dalam budaya suatu bangsa belakangan ini makin menentukan harkat bangsa tersebut di antara bangsa-bangsa lain.

            Dalam perkembangan budaya masyarakat Indonesia pada abad terakhir ini ada dua alur perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Alur pertama dianggap masih relevan dan dapat dimaklumi jika mampu mengakar dan menyelaras dengan alam, sedangkan alur kedua adalah tumbuh karena merasuknya budaya masyarakat lain. Hal ini yang selalu disebut dengan budaya Barat. Alur kedua ini secara perlahan dan pasti diserap masyarakat Indonesia. Kelompok seperti ini dibentuk oleh masyarakat ilmiah yang coraknya tidak akan pernah sama lagi dengan pikiran cerdik dan pandai (diistilahkan sebagai cendekiawan) yang sebelumnya (datuk, pujangga, nelayan, kiai, dukun dan sebagainya).

            Dalam pencaharian nilai, kita selalu berhadapan dengan model dan bentuk kebudayaan baru yang sama sekali kita masih gamang untuk menentukan sikap. Latar belakang sikap budaya itu sebenarnya sudah ada sejak pemerintah kolonial. Kiat serba wah dan kita serba sah apabila memilih apa yang ada di depan kita. Akibatnya dunia kebudayaan itu tetap berpura-pura di ruang yang hampir sama, hanya dibedakan oleh waktu saja. Penyebutan “lama” dan “baru” atau “tradisional” dan “modern” hanya diubah oleh perjalanan waktu. Dalam perjalanan waktu itulah kita harus berhadapan dengan proses pencaharian nilai-nilai. Pencaharian juga selalu berbenturan dengan kemauan. Apabila kemauan itu dibatasi oleh situasi dan kondisi, maka hal yang paling naif nilai tak selamanya menghasilkan konsepsi yang realis begitu juga sebaliknya, situasi kondisi memungkinkan tetapi kemauan itu selalu dipisahkan dengan kolektivitas, maka nilaipun semakin kurus.

Menggejala

            Ada suatu model kebiasaan yang menggejala pada masyarakat kita, yaitu gaya menghaluskan istilah sebagai ungkapan dalam masyarakat dan pembangunan. Gaya itu disebut eufemisme yang berfungsi untuk menghaluskan ungkapan untuk tidak menyinggung perasaan orang lain, umpamanya: “ si A beristri tidak resmi”. Untuk tidak menimbulkan kesan kurang baik kita bisa mengatakannya: “si A mempunyai simpanan lagi”. Pengakuan yang vulgar itu selalu diberikan dengan nilai yang konotatif. Seorang pejabat yang korupsi, kita lebih arif mengatakannya dengan: “pejabat itu mengkormesilkan jabatannya”. Kita pasti sepakat bahwa kata simpanan dan komersialisasi adalah kata-kata yang bernilai rasa baik dalam bidang perekonomian (dunia niaga). Sebab tidak ada yang harus ditafsirkan dengan kedua kata tersebut. Namun dalam masyarakat budaya yang serba ingin memilih dan menentukan identitas, kebudayaan yang baru dan ada dihadapannya itu selalu menjadi alternatif pertama, tanpa memikirkan apakah identitas baru itu dapat memberikan rasa aman dan lebih sesuai.

Penyalahgunaan nilai rasa akibat interpretasi seperti pada kata-kata dan istilah di atas tersebut selalu menggiring kita terperangkap dalam hal-hal yang tidak benar dan logis. Kalau kita sebut “oknum” dapat membedakan yang kolektif, yang berwujud kelembagaan dengan individu. Eufemisme politik  cenderung bermakna ambigu dan membentuk nilai rasa yang negatif. Memang maksud eufimisme adalah untuk tidak menyinggung perasaan orang lain, tapi adakalanya gaya ini cenderung menjadi tujuan politis, untuk maksud menutupi kelemahan suatu organisasi atau lembaga. Misalnya seorang pimpinan organisasi yang teras dan berpengaruh karena kepemimpinannya yang bersih dan berwibawa, ternyata suatu saat ketahuan melakukan perbuatan yang memalukan dalam hal nilai dan etika-kemudian muncul berita di koran setelahnya “Oknum pimpinan organisasi X telah melakukan suatu kekhilafan”

Pergeseran Makna

            Dalam nilai rasa ada beberapa pergeseran makna, seperti pada kata saudara, semula diberi makna sedarah (satu keturunan), kemudian sekarang mengalami pelunasan ruang lingkup, yaitu: satudara (dapat disebut pada setiap orang). Sebaliknya kata ilmuan semula bermakna dukun, kiai, tukang tenung, pujangga dan sebagainya, kemudian mengalami penyempitan arti, yakni mereka yang menuntut ilmu lewat lembaga pendidikan formal, khususnya pendidikan tinggi.

            Ada lagi rasa yang lain, yaitu makna dan bentuk kata yang baru lebih baik dari semula (ameliorato) misalnya kata WTS (Wanita Tuna Susila) dinilai lebih baik dari istilah pelacur. Kalau dihubungkan dengan sifat dan realitanya tentu tidak logis, sebab kedua kata itu merujuk ke perbuatan yang amoral. Begitu juga kaum “hawa” kurang bergengsi kalau disebut “perempuan”, sebab tidak ada pula Dharma Perempuan yang ada Dharma Wanita, Majalah Wanita, Dunia Wanita, Wanita Karir dan sebagainya (dan sayapun bingung). Sedangkan kata “Hostess, Simpanan, Peminum ternyata mengalam dekadensi nilai sebab ketiga kata tersebut diasosiasikan ke bentuk yang negasi menjadi pelacur, istri tidak sah, pemabuk; pada hal makna sesungguhnya tidak demikian.

            Kata tajam, seperti pada kalimat: “Tulisannya itu cukup tajam” ternyata juga tidak ketinggalan mengalami pergeseran makna. Pergeseran tersebut berporos pada interpretasi dua indera yang berlainan, seperti: “gadis manis” yang semestinya gadis tersebut tidak kita cicipi lewat indera rasa seperti lidah. Dan yang paling jelas dari corak kebudayaan kita yaitu pada kalimat: “berikan saja dia amplop, agar urusan dapat tuntas”. Kata amplop memang sudah semakin sukar dikembalikan ke dalam bentuk yang sesungguhnya: sebagai pembungkus surat. Pengeseran makna di atas juga tidak selamanya cenderung negatif, akan tetapi kadar nilai rasa yang masing-masing diberi plus penekanan-penekanan yang memabukkan.

            Sebagai pejabat negeri termasuk kita-cenderung menggunakan ungkapan-ungkapan yang ada seperti di atas untuk sekedar pemenuhan vested interested, malah selalu dipoles dengan sebutan diplomasi, seperti diplomasi kebudayaan dan diplomasi kekayaan. Tujuannya selalu saja menguntungkan yang sudah pasti secaqra moral maupun material. Bila disebut Universitas Negeri sering dibuat risau oleh mahasiswanya, itu mungkin akibat birokrasi, edukasi dan administrasi yang kurang bermanfaat. Tapi kita masih senang mengatakan bahwa: “mahasiswanya sudah diskors” atau “mahasiswa perlu diberi banyak pelajaran”. Begitu juga bila sebuah Dam pecah diihantam banjir. Kontraktornya masih bisa bicara: “Itu karena tender yang terlalu besar”.

            Penggunaan “halusinasi” seperti di ataslah yang selalu berpengaruh pada kehidupan kebudayaan masyarakat, sehingga dapat saja gejala itu berakibat timbulnya negosiasi terhadap efek pembangunan yang selalu menghantarkan makna konotasi. Konotasi itu kemudian berkelanjutan pada sustainable development. Oleh sebab itu perlu pembenahan sentra-sentra yang paling menyentuh pada kehidupan kebudayaan masyarakat. Sehingga fungsi Lembaga Permasyarakatan tidak lagi seperti penjara atau tutupan, tetapi sudah berorientasi simbolisasi yang sesungguhnya, baik dalam nilai maupun rasa. Gusur tetap gusur, berbeda dengan geser. Semoga.

*) Penulis adalah Penyair dan

    Relawan Budaya Hijau Indonesia