MEDAN | ARUSMALAKA.COM
Kesenian tradisional hanya akan eksklusif manakala kesenian itu semakin dijauhi oleh pendukungnya dan generasi setelahnya, lalu kesepian dan mati suri.
Lain halnya dengan kesenian tradisional yang diusung oleh Guntoro Gundel (38), warga Pematang Kasih Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Sebagai pimpinan Sanggar, sosok pemuda ini berjibaku dengan kawan-kawannya untuk kukuh mengusung kesenian yang diwariskan leluhurnya, dari tanah Jawa.
Awalnya, kakeknya, Mas Hari Anto, sebagai Pujakesuma (putera Jawa kelahiran Sumatera) mengembangkan sanggar seni tradisional Jawa “Cipta Budoyo” itu di Kecamatan Helvetia, Medan, sekitar tahun 1980-an–2000-an. Lalu tongkat estafet itu sampai pada Guntoro. Selang beberapa tahun kemudian, sanggarpun berganti nama menjadi “Sinar Budoyo”, dan itu sudah berlangsung 15 tahun hingga sekarang.
Itu bukan tanpa alasan, ujar Guntoro saat ditemui awak media di sanggar seninya yang jadi satu dengan kediamannya, Minggu (24/12). “Nama pertama terlalu besar buat saya, karena saya hanya penerus bukan pencipta.” Lanjutnya, “Nama baru itu pemberian bapak Soekirman, mantan Bupati Serdang Bedagai.”
Guntoro yang trah Blora, Jawa Tengah itu usung beberapa cabang seni, yakni: Wayang Orang, Jaran Kepang, Reog, serta Gamelan. Didukung oleh seniman-seniwati berbagai usia, dari anak-asak SD sampai usia 50-an, laki dan perempuan. Ini diikat dalam satu falsafah Jawa, yakni gotong royong, serta kecintaan pada tanah Leluhur yang nun jauh di pulau Jawa sana, (sebagian dari mereka belum pernah menginjakkan kaki di Jawa), akan tetapi bahasa ibu serta seni tradisonalnya mereka jadikan passion sekaligus pandangan hidup. Namun tentu saja, sentuhan budaya Melayu, Batak, Karo dan seantero budaya Sumatera Utara lainnya turut memolesnya.
Etos itulah yang terus dipompa Guntoro Gundel pada kinerja sanggar seninya. Sehingga tak heran jika sanggar seni Sinar Budoyo kerap diundang untuk mengisi acara Dinas Pemerintahan, kabupaten atau provinsi, selain diundang untuk perhelatan atawa hajatan di kampung. Ini menandakan kesenian yang diusung Sinar Budoyo menyuguhkan kerja seni yang mumpuni.
Dengan ketekunannya Guntoro, melengkapi kekurangan sanggarnya dengan membuat beberapa properti kesenian, semisal membuat mahkota sendiri untuk kelengkapan wayang orang, menjahit pernak pernik kostum penari, membuat topeng dan kekurangan pendukung lainnya. Kreativitas Guntoro juga sampai pada menggubah lakon, skenario wayang wong atau koreografi jaran kepang, tetapi tak lepas dari pakem yang ada.
Kendati begitu, Guntoro tidak menutup kemungkinan jika ada donasi yang turut menyokong atawa bantuan dari dinas Pemerintahan terlebih dinas terkait Kebudayaan dan Pariwisata, sebab untuk melestarikan kesenian apalagi seni tradisional yang ‘megap-megap’ di tengah gempuran budaya kontemporer – dunia serba digital ini, tak cukup dengan tenaga sendirian, butuh banyak pendukung. Lantaran mengusung kesenian berarti melestarikan ciri sebuah bangsa, sebagai bangunan peradaban.
(Jun)