Oleh : Dr Purwadi SS M.Hum (Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA)


A. Membaca Tanda Tanda Zaman

Kali ilang kedhunge pasar ilang kumandhange. Begitu ramalan Prabu Joyoboyo dalam membaca owah gingsire jaman. Sang Prabu adalah raja Kraton Kediri yang waskitho ngerti sakdurunge winarah.

Prabu Joyoboyo memang narendro agung binathoro mbahu dhendho nyokrowati. Dalam memerintah kerajaan Kediri yang beribukota di Dahono Puro, Sang Prabu selalu menjunjung tinggi etika ber budi bowo laksono. Wilayah kerajaan Kediri sangat luas, maka diperlukan sikap konsekwen dan konsisten. Satunya kata dan perbuatan.

Pujangga kerajaan Kediri dijadikan pandam pandom panduming dumadi. Prabu Joyoboyo memperhatikan nasihat Empu Sedah, Empu Panuluh dan Empu Darmojo. Empu Sedah mengajarkan ilmu sangkan paraning dumadi. Empu Panuluh memberi kawruh joyo kawijayan guno kasantikan. Empu Darmojo memberi wedharan tata praja. Wulangan wejangan wedharan sarjono winasis itu dihayati oleh Sri Baginda. Prabu Joyoboyo bisa tampil sebagai pemimpin yang ambeg adil poromarto.

Leluhur raja Kediri senantiasa amemangun karyenak tyasing sesama. Seperti eyangnya Prabu Joyoboyo yang bernama Sinuwun Prabu Kamesworo. Sang kakek memberi contoh diplomasi dengan negeri di Asia Selatan, Asia Barat dan Asia Timur. Bahkan pada tahun 1105 Prabu Kamesworo mendatangkan guru agama dari Negeri Mesir. Namanya Haji Syekh Syamsujen. Kelak menjadi guru spiritual Prabu Joyoboyo. Agomo ageming aji sebagai landasan ajaran memayu hayuning bawono.

B. Ilmu Iku Kelakone Kanthi Laku

Prabu Joyoboyo raja Kediri yang terkenal memiliki doyo linuwih. Haji Syekh Syamsujen mengajari loro lopo topo broto. Sang Prabu biasa topo kungkum, topo pendhem, topo gantung, topo ngrowot, topo mutih. Kadang kadang juga menjalankan lelaku mirip sato kewan. Yakni topo ngalong, topo ngidang, topo ngiwak. Pada bulan Suro Sri Baginda tak lupa lelaku nggenioro mbanyuoro. Pada bulan ruwah Prabu Joyoboyo melakukan topo ngrawe, yaitu berusaha menyenangkan orang banyak.

Kepribadian Prabu Joyoboyo sungguh paripurna. Kebijakan raja Kediri ini Khalifah Bagdad mengirim delegasi untuk berkunjung ke Kraton Kediri. Tim dari Bani Umyyah Irak ini belajar sistem irigasi Kali Brantas. Keluhuran budi Prabu Joyoboyo membikin bangsa manca kayungyun marang pepoyane kautaman. Tiap saat mereka pasok bulu bekti yang berupa glondhong pangareng areng. Sebagian lagi caos peni peni rojo peni, guru bakal guru dadi, emas picis rojobrono.

Kraton Kahuripan, Kraton Jenggolo, Kraton Singosari menjalin persahabatan lahir batin. Demi eratnya kekeluargaan, Retno Sedhah Mirah, putri Prabu Joyoboyo dijodohkan. Cucu Sekartaji yang cantik jelita ini dinikahkan dengan Prabu Ronggowuni raja Singosari. Kerajaan Kediri dan Singosari terikat oleh tali perkawinan. Usaha demikian dalam rangka untuk mewujudkan kumpule balung pisah.

Berkat didikan Haji Syekh Syamsujen itu pula, Prabu Joyoboyo menjadi raja yang putus ing reh saniskoro. Sang Prabu tahu unggah ungguhing boso, kasar alusing roso, jugar genturing topo. Poro kawulo yang tinggal di kutho ngakutho, deso ngadeso, gunung ngagunung sangat hormat dan berbakti.

C. Jongko Jangkane Zaman Ramalan Joyoboyo

Kanjeng Sinuwun Prabu Joyoboyo memberi ramalan tentang jenis jenis jaman. Ramalan Prabu Joyoboyo selalu tepat. Ada empat jaman, yaitu jaman Kartoyugo, jaman Partoyugo, jaman Kaliyugo, kali Sengoro.

  1. Zaman Kartoyugo. Pada jaman Kartoyugo ini bumi nusantara adil makmur, murah sandang pangan papan. Sawah luas, sungai mengalir, hutan hijau, gunung biru. Terjadi pada masa kerajaan Medang, Kahuripan, Singosari, Jenggolo, Doho, Kediri dan Majapahit. Pemimpin dan rakyat bersatu padu. Tanah Jawa bisa mewujudkan prinsip manunggaling kawulo Gusti.
  2. Zaman Partoyugo. Pada jaman Partoyugo ini tanah Jawa semakin moncer. Terjadi pada masa kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Tanah Jawa memiliki budaya adi luhung, seni edi peni. Budaya adi luhung berhubungan dengan nilai filosofis atau pemikiran. Seni edi peni berhubungan dengan nilai estetis atau keindahan. Tokohnya Kyai Yosodipuro, Ronggowarsito, Paku Buwono dan Mangkunagoro. Mereka adalah pujangga besar yang mewariskan peradaban. Rum kuncaraning bongso, dumunung ing luhuring budoyo.
  3. Zaman Kaliyugo. Pada jaman ini bumi nusantara diganggu oleh pemimpin palsu. Tiap menjelang pemilihan umum, mereka mendekati rakyat. Ngalor ngidul mau membela rakyat. Sekolah akan gratis, berobat akan gratis. Demi ambisi kekuasaan, tak segan segan sogok sana sini. Setelah berhasil menjabat, mereka lupa laut darat. JamanPemimpin gadungan ini biasa omong mencla mencle. Usuk omong dhele, sore dadi tempe. Jaman Kaliyugo orang suka melanggar tata krama.
  4. Zaman Kalisengoro. Pada jaman Kalisengoro ini banyak sekali berita hoax seliweran. Orang berbohong dengan media sosial. Informasi dan teknologi jadi alat tipu tipu. Hp, Internet, email, radio, televisi digunakan untuk saling serang. Ujung ujungnya banyak korban. Apalagi saat ada bencana dunia. Wabah penyakit menular. Lantas diolah untuk membuat gaduh dan kisruh. Ketika masyarakat panik, para penipu ini mengambil keuntungan. Pembohong ini mengail di air keruh. Oleh karena itu, Prabu Joyoboyo bersabda dengan bijaksana. Sing bener ketenger, sing salah seleh. Becik ketitik, olo ketoro. Sapa kang mbibiti olo, wahyune bakal sirno. Inilah ajaran Prabu Joyoboyo. Agar kita selalu eling lan waspodo.

*Ditulis oleh Dr Purwadi SS M.Hum, 1 Mei 2020.