Oleh: Agus Marwan
(Sekjend Forum Masyarakat Literasi Indonesia)

Dalam sejarah perjalanan peradaban Nusantara, Champa tidak saja mewarnai jejak peradaban, juga mewarnai berakhirnya Majapahit dan hadirnya Kerajaan Islam Demak di Nusantara. Jauh sebelum Putri Champa hadir di Nusantara dan menjadi permaisuri Bhre Kertabumi Raja Brawijaya V, hubungan antara Kerajaan Champa sudah sangat terjalin erat dengan Kertanegara raja terakhir Singosari (1268-1292). Kertanegara merangkul Champa melalui pernikahan antara adiknya yang bernama Putri Tapi dan Raja Jaya Simhawaman III.

Sekalipun Singosari runtuh, dan Majapahit menguasai Nusantara, hubungan antara Majapahit dan Champa tetap terjalin erat. Itu ditandai dengan Ratu Dwarawati putri Raja Champa yg menjadi permaisuri Raja Brawijaya V. Kemudian Ratu Dwarawati ini dikenal dengan Putri Champa. Pernikahan keduanya menghasilkan seorang putra yang diberi nama Raden Ario Damar, yang nantinya akan menjadi Bupati di Palembang. Selain memiliki Putri Champa, Brawijaya V juga memiliki selir keturunan China bernama Siu Ban Ci. Dari pernikahan ini lahirlah Jin Bun yang kemudian dikenal dengan nama Raden Patah.

Situasi Majapahit kala itu mengalami kemunduran moral, yang berakibat semakin lemahnya kekuasaan Majapahit. Melihat situasi ini, Putri Champa mengusulkan ke Brawijaya V untuk menghadirkan Ali Rahmatullah pendakwah Islam dari Champa. Ali Rahmatullah tak lain adalah ponakan dari Putri Champa sendiri, anak dari pernikahan kakak Putri Champa yang bernama Dewi Candrawulan dengan seorang ulama dari Samarkand bernama Maulana Ibrahim AlGhazi atau Ibrahim Asmarakandi. Usul Putri Champa ini disetujui oleh Brawijaya V.

Sifat santun Ali Rahmatullah ini menarik hati sang Raja. Sehingga baru saja tinggal di Majapahit, dia sudah dinikahkan dengan Putri Raja yaitu Dewi Candra Wati. Sejak itu, Ali Rahmatullah mendapat gelar Raden Rahmat, dan diberi sebidang tanah beserta bangunan di kawasan Ampeldelta (Surabaya). Disinilah Raden Rahmat mulai mendirikan Mesjid dan Pesantren. Selain keluarga Raja, pesantren ini juga terbuka untuk umum bagi masyarakat yang mau belajar budi pekerti. Raja Brawijaya V sangat bahagia melihat keberhasilan Raden Rahmat dalam memperbaiki moral dan budi pekerti rakyat Majapahit, sehingga kerajaan itu kembali aman dan tentram. Karena Raden Rahmat menguasai kawasan Ampeldelta, kemudian mendapat gelar sebagai Sunan Ampel.

Sunan Ampel sendiri secara terbuka mengatakan kepada Raja bahwa yang disampaikannya adalah ajaran-ajaran Islam. Dan Raja sebenarnya menyukai, tapi tatkala Sunan Ampel mengajak Raja masuk Islam, sang Prabu tidak bersedia. Alasannya sangat berat meninggalkan agama Hindu yang sudah mendarah daging atas dirinya. Tapi sang Raja memberi kebebasan kepada Sunan untuk menyiarkan agama Islam.

Salah satu keturunan Raja Brawijaya V yang kemudian menjadi murid Sunan Ampel adalah Raden Patah. Raden Patah menolak menjadi Bupati Palembang oleh ayahnya, dia memilih berlayar ke pulau Jawa, dan berlabuh di Ampel Delta, dan bertemu dengan Sunan Ampel. Raden Patah kemudian berguru pada Sunan Ampel.

Tak lama kemudian Raden Patah menghadap sang Raja yang tak lain adalah ayahnya sendiri untuk mengabdi di Kerajaan Majapahit. Dan oleh sang Ayah, Raden Patah diangkat menjadi Bupati di daerah Glagah Wangi yang sekarang disebut Demak. Sekalipun sudah menjadi Bupati, Raden Patah pun masih tetap belajar Islam kepada Sunan Ampel. Hingga kemudian sang guru menikahkan putrinya kepada sang muridnya. Hingga kemudian Raden Patah dan Sunan Ampel merintis pembangunan Mesjid Agung Demak di Desa Kauman pada tahun 1447. Kemudian mesjid ini terus disempurnakan hingga menjadi markasnya Wali Songo.

Pada tahun 1478, Giridrawardhana putra dari Raja Suprabhawa yang digulingkan oleh Raja Brawijaya V ini menuntut balas atas kematian Ayahnya. Majapahit pun diserbu oleh pasukan yang bermarkas di Dhaha ini. Raja Brawijaya V pun berhasil digulingkan. Ada beberapa versi akhir nasib dari Brawijaya V ini. Ada versi lari ke Demak ke tempat anaknya, ada versi lari ke Gunung Lawu untuk melakukan Moksa. Dan ada versi sang raja gugur saat penyerbuan itu.

Naiknya Girindrawardhana membuka kesempatan bagi Raden Patah untuk meluaskan kekuasaannya. Sebenarnya Raden Patah sudah lama berambisi hendak menaklukkan Majapahit, namun Sunan Ampel selalu melarangnya. Sekalipun Majapahit berbeda agama, tetapi Brawijaya V tetaplah ayah Raden Patah.

Seiring dengan Majapahit dikuasai oleh Girindrawardhana, dan Sunan Ampel pun wafat, barulah Raden Patah menyusun rencana untuk merebut Majapahit. Untuk itu dia mengumpulkan dari para pendukungnya dari daerah-daerah Islam seperti Gresik, Tuban, dan Jepara. Raden Patah juga meminta nasehat dan bantuan dari anggota Wali Songo.

Dan penyerangan pun berhasil. Girindrawardhana pun ditangkap dan diadili. Setelah Majapahit takluk, Raden Patah kemudian mendirikan Kerajaan Islam Demak. Masa kejayaan Majapahit pun berakhir di Nusantara, dan muncullah Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.

Membaca buku “Champa” kita dituntun “menapaki” jejak-jejak kejayaan Champa. Buku ini juga memandu kita memahami bagaimana kedekatan Champa dengan Nusantara baik di era Singosari maupun Majapahit hingga hadirnya Kerajaan Islam Demak. Ada salah satu thesis yang menarik dari buku ini, mengutip dari salah satu pakar sejarah Champa, konon orang-orang Champa ini adalah orang-orang yang berasal dari tanah Jawa atau dari Borneo. Itulah kenapa, bila kita ke Vietnam dan mengunjungi sisa-sisa kejayaan Champa, sang tour guide akan bilang bahwa orang Champa berasal dari tanah Jawa.