Oleh: Oppungleladjingga

Kita semua mengetahui, bahasa adalah alat komunikasi yang paling lengkap, canggih, menonjol dan terlebih-lebih manusiawi. Bahasa dapat disajikan dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan bahasa menjadi sangat penting sebagai alat untuk mengkomunikasikan ilmu-ilmu yang lain di luar ilmu pengetahuan bahasa.

            Ilmu yang mengidentifikasi bahasa sebagai suatu sistem isyarat, disebut linguistik. Linguistik yang merupakan bagian dari ilmu pengetahuan asli (The Original Science), terbagi atas beberapa sub disiplin, yakni : a. Linguistik teoritis; b. Linguistik terapan; c. Sosiolinguistik; d. Psikolinguistik; e. Linguistik komputasi. Tentunya masing-masing sub disiplin tersebut melakukan pemberian bahasan dari sudut pandang tertentu, memanfaatkan asumsi-asumsi tertentu, meneliti objek dan memakai metode tertentu, yang paling giliran, mengharapkan hasil yang di niatkan oleh masing-masing pula.

            Bahasa mempunyai berbagai kedudukan dan fungsi dalam masyarakat. Ilmu yang mengkaji hubungan bahasa dengan masyarakat disebut dengan sosiolinguistik. Salah satu topik yang menjadi telaah tulisan ini ialah tentang peran. Peran yang di maksud adalah cara memandang kewajaran penggunaan bahasa. Baik bentuk yang di gunakan maupun kegiatan atau peroses alami dari pertumbuhan bahasa itu sendiri. Sudah tentu peran tersebut bukan yang menyimpang dari konteks komunikasi.

            Dengan spesialisasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tidaklah berarti tulisan ini merupakan karya diskursif – sebuah karya yang menampilkan sosok kegagahan argumentasi, tetapi penulis yakin – bahkan seyakin-yakinya ini tidak lebih dari sebuah paparan. (Mungkin ) masih punya manfaat, kalau sidang diskusi mau melihat sisi kemanfaatanya.

Peran Bahasa

Seperti telah disinggung di atas, tentang kewajaran berbahasa pada manusia, maka dengan cara melacak akar sosiolinguistik, tentu kita akan menemukan beberapa faktor penyebab dari peran bahasa itu sendiri, seperti : sapa yang berbahasa, siapa pendengar, sapa yang hadir dalam situasi perbahasa, apa yang di bahasakan, apa yang akan di capai, dimana dan bila waktunya berbahasa, peristiwa dan konteks yang bagaimana, kemudian jalur dan modus apa yang dipakai dalam berbahasa ( lihat hymes,1972).

Pengertian akan kewajaran berbahasa akan dapat meningkatkan kemampuan orang melakukan komunikasi, baik secara produktif (seperti berbicara dan menulis) maupun secara reseptik (seperti menyimak dan membaca). Tahap kemampuan komunikasi (orang yang melakukan komunikasi) dapat ditingkatkan melalui Teori Tindak Bahasa yang menjelaskan bahwa bentuk kalimat tidak selalu mempunyai ‘message’ atau isi komunikasi (Austin,1962 & Searle 1969). Yag terakhir inilah dapat kita golongkan kepada pembicaraan diplomasi.

            Peran bahasa untuk kebudayaan secara filogenetis adalah berdasarkan tujuan sistem kebudayaan. Bahasa adalah sub sistem dari sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan itu yang dimaksud oleh Prof. Koentjaraningrat dengan kerangka etnografie yang mendeskipsikan ; 1) bahasa, 2) teknologi, 3) mata pencaharian, 4) organisasi, 5) pengetahuan, 6) kesenian, 7) relige. Disamping tujuh kerangka tersebut masih ada faktor yang penting untuk mengenal kebudayaan suatu etnis dari suatu bangsa, yaitu : 1) logika, lingkungan, alam, dan demografi, 2) asal muda dan sejarah suku bangsa.

            Peran bahasa untuk budaya secara ontogenetik adalah berdasarkan tinjauan cara belajar dan pengetahuan seseorang terhadap nilai kebudayaan. Artinya bagaimana seseorang belajar hidup dari kehidupan sistem dan teradisi masyarakat serta bagaimana seseorang dapat diterima oleh masyarakatnya (proses integral). Kebudayaan sebagai perujuk adanya eksistensi manusia melalui budi yang dimilikinya. Bila dalam suatu masyarakat ada kata-kata atau kalimat yang di anggap ‘tabu/pantang’ untuk di ungkapkan apalagi diperdengarkan dalam masyarakat yang lebih luas, tentunya sampai kapanpun kata tersebut tidak akan didengar atau di pakai oleh penutur bahasa tersebut, walaupun kata-kata itu termasuk salah satu perbendaharaan kosa kata daerah itu. Peristiwa tentu tidak merupakan kekhususan pada contoh di maksud.

Peranan bahasa sebagai usaha mengembangkan kebudayaan, dapat dihubungkan dengan fungsi bahasa-bahasa yang ada di indonesia. Misalnya: bahasa daerah akan merupakan ciri khas kebudayaan daerah yang kemudian dapat dikembangkan dan diasimilasi dengan kebudayaan daerah lain.

            Selanjutnya kebudayaan daerah-daerah tersebut membentuk suatu komponen dengan tetap merujuk pada ciri khusus yang lebih universal, hasilnya akan diperoleh dalam bentuk kebudayaan nasional. Perluasan wawasan dan pengembangan kebudayaan daerah hanya dapat dilakukan melalui bahasa. Begitu juga kebudayaan nasional diperkenalkan keluar melalui bahasa. Misalnya melalui kearifan lokal, bahasa lokal menjadi penting sebagai media ungkap budaya dan tradisi. Memperkenalkan khasanah dan mosaik budaya selain  mempromosikan kekayaan potensi wisata-budaya Indonesia melalui bahasa daerah, bahasa selain bahasa asing.

            Dalam merekam kebudayaan yang berhubungan dengan kurun waktu/priode suatu kebudayaan, peranan bahasa diperbandingkan dengan konsep kebudayaan yang pernah ada. Misalnya istilah ‘bumiputra’, ’bung’, ’budak’, ’lalim’, dan sebagainya pada suatu waktu akan lenyap oleh ‘perubahan’.

            Salah satu cara masih digunakan ahli bahasa adalah mencari pandanan kata tersebut.begitu juga dalam perbandingan konsep kebudayaan lainnya, menurut hemat penulis untuk keadaan seperti keadaan demikian itulah adanya kata pungutan (loan word), meminjam kata dari bahasa lain. Seperti kasus bahasa indonesia.

            Dalam bidang pendidikan peran bahasa adalah untuk mengembangkan budi dan daya manusia. Fungsi pendidikan bahasa yang diajukan Nababan meliputi : 1) fungsi integratif, 2) fungsi instrumental, 3) fungsi kultural, 4) fungsi penalaran. Untuk fungsi (1) dan (3) pada dasarnya sudah diuraikan terlebih dahulu. Sedangkan fungsi instrumental adakah usaha mendayagunakan pengetahuan bahasa untuk terpenuhinya semua segi kehidupan. Begitu juga fungsi penalaran tentu memiliki kecenderungan pada proses berfikir manusia. Yang menunjukan bahwa fungsi ‘manusia’nya masih hidup.

            Masalahnya, masih banyak fungsi itu belum disadari secara wajar oleh setiap penutur, sehingga tidak tertutup kemungkinan itulah gejala dari kesalahkaprahan dalam berbahasa.

  1. Karl Buhler mengemukakan teori tentang fungsi bahasa dengan nama.

‘Teori Fungsi Tiga Dimensi Bahasa’ yang kemudian dideskripsikannya menjadi : Ausdruck, Appell dan Darstellung. Konsepsi yang kemudian mendapat perluasan dan dimensi adalah Darstellung. Ausdruck adalah kristalisasi dari ekspresi pikiran, peranan dan kemauan; Appell ternyata adalah kemampuan mengkap isi pesan oleh pendengar. Darstellung sebagai bahasa perlambang semua hal yang ada dalam hidup manusia.

            Sudah menjadi asumsi yang umum bahwa semua bahasa yang ada di dunia memiliki fungsi sebagai alat komunikasi. Selanjutnya dari fungsi itu turun sub fungsi yang lebih khusus, seperti fungsi perorangan, fungsi kelompok, (kolektivisme), fungsi umum. Agar tidak terperangkap kedalam pemerian yang mengambang, ada baiknya kita ikuti kajian Nababan (1984) yang menurunkan fungsi dengan penggolongan komunikasi dalam konteks masyarakat dan pendidikan., yaitu: 1.Fungsi kebudayaan; 2.Fungsi kemasyarakatan; 3.Fungsi perorangan; 4.Fungsi pendidikan. Tentu yang paling relevan dengan judul, adalah fungsi yang kedua dan keempat.

            Fungsi kemasyarakatan sesalu didekatkan dengan kepentingan kelompok yang lebih besar (maksudnya:masyarakat). Bila dilihat dari ruang lingkupnya, maka penuturan dan kewilayahan penuturan bahasa memiliki legitimasi sebagai lambang jatidiri, yang tentunya hanya dipakai pada masyarakat itu saja, tidak mungkin di pakai oleh kelompok masyarakat lain. Sebab jika penutur bahasa pada kelompok lain mengadakan kontak dengan kelompok itu tentu harus ada bahasa pengantar yang lebih meluas dan komunikatif. Namun kalau kelompok yang satu tetap menggunakan bahasa kelompoknya kepada kelompok lain, maka akan terjadi rintangan komunikasi (communication berier). Mengapa demikian? Tidak terjadi interpretasi atau bunyi-bunyi yang di hasilkan oleh pembicara kelompok itu dengan pendengar pada kelompok lain atau sebaliknya. Misalnya bahasa daerah A dan penutur B tentu tidak akan mengunakan bahasanya masing-masing. Begitukah?