Oleh: H.Sahbudi,SH., MH., M.AP

Pada hari Ahad 4 September 2022 dilaksanakan Mukernas DPP PPP, acara tersebut dilaksanakan tanpa kehadiran Ketua Umum maupun Sekretaris Jenderal, konon dihasilkan sebuah keputusan menonaktifkan ketua umum DPP PPP Suharso Monoarfa, bingung, gusar dan gelisah melanda pikiran para kader dilapisan bawah dengan pertanyaan apakah cukup hanya sebuah gelaran mukernas untuk mengganti ketua Umum, apalagi acara digelar tanpa undangan yang ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal, apakah semudah itu menjatuhkan kepemimpinan partai politik di negara tercinta ini.

Membayangkan acara yang penting dan demikian strategis itu dilaksanakan tanpa tanda tangan Ketua umum dan Sekretaris jenderal, keputusan yang diambil juga tidak tangung-tanggung yakni “mengganti” ketua umum.

“Penyakit lama kambuh lagi”, naluri saya berkata. Mengapa para petinggi PPP selalu saja hanyut dalam permainan dan ambisi tertentu tanpa memikirkan dampaknya. Padahal menurut penulis kompak sajapun PPP belum tentu selamat apalagi kalau sibuk bertengkar hanya karena hal-hal remeh-temeh dan tidak penting dalam menyongsong Pemilu 2024.

Sesungguhnya penulis bukanlah siapa-siapa dipartai warisan ulama ini, namun sampai hari ini masih setia dibawah panji bendera hijau berlambang Ka’bah ini. Penulis bukan baru satu dua tahun berada dipartai ini, bukan pula tak pernah ada ajakan dan godaan untuk pindah meninggalkan partai ini, namun penulis sudah terlanjur cinta meskipun belum sempat mendapatkan nikmat apa-apa selama bergabung disini.

Kadang banyak cibiran yang diterima penulis dari para teman dan kolega, untuk apalagi bertahan dirumah besar yang semakin lama terasa semakin sepi penghuni, terlihat dari hasil perolehan kursi dari pemilu kepemilu yang cenderung menurun.

Kalau boleh jujur, memang kepengurusan kali ini terkesan meninggalkan orang-orang yang telah lama “berkeringat” di partai ini, para senior seakan ditinggalkan hingga menjelang pendaftaran Caleg, DPP, DPW dan DPC seolah kompak dan satu visi dalam hal ini. Para anak muda yang katanya milenial di tempatkan ditempat yang sangat strategis. Meskipun penulis melihat bahwa tokoh milenial yang direkrut masih jauh dibanding tokoh -tokoh muda partai lain. Penulis tidak melihat ketokohan mereka, bukan yang ahli IT, atau yang punya follower jutaan, atau punya prestasi yang membanggakan.

Andai mereka seperti Atta Halilintar atau Ria Ricis, atau jika memungkinkan seperti Gibran, mungkin penulis tak perlu meragukannya.

Pemikiran untuk memberi ruang pada generasi milenial ini didasari dari penelitian bahwa trend pemilih dari pemilu kepemilu sebagian besar didominasi anak-anak muda, sedangkan pemilih tua yang fanatik dan loyal terhadap PPP semakin hari semakin berkurang jumlahnya.

Pimpinan Partai begitu besar menggantungkan harapan kepada anak-anak baru gede yang baru bergabung di PPP, sementara para senior seperti kehabisan tempat, Situasi inilah yang menurut penulis yang menjadikan para senior merasa ditinggalkan, mereka ingin berperan namun tak tau sebagai apa? Jika Partai menggelar kegiatan, mereka tak tahu dan tak punya posisi ketika hadir di acara tersebut.

Lebih parah lagi ketika para “senior” yang selama ini berada di pimpinan pusat, ketika mereka kembali kekampungnya. Mereka akan sungkan untuk hadir andai Partai didaerah berkegiatan, karena mereka tak tahu, Mereka bingung untuk pakai baju dengan atribut apa dan sebagai apa saat hadir dalam kegiatan partai didaerahnya tersebut, padahal mereka masih sangat cinta dengan partai Ini. Mau pakai baju DPP mereka sudah tidak lagi pengurus DPP, andai pakai baju lain nanti dianggap sudah pindah partai.

Kalau boleh menyumbang pikiran, hendaknya DPP memberikan ruang bagi mereka para senior untuk terus berada di partai ini, DPP tinggal mendirikan lembaga baru dengan nama apa saja yang penting para senior itu punya wadah.

Merujuk organisasi lain, kita boleh belajar dari HMI dengan KAHMI nya, atau HIMMAH dengan KAHIMMAH nya atau organisasi apa saja yang penting baik, tentu tak salah kita kita mengikutinya.

Kembali kepada konflik yang tengah terjadi, apakah para petinggi partai ini tidak ingat pada masa-masa yang lalu kita juga mengalami hal yang sama, konflik itu melelahkan, dan sangat merugikan.

Kalau melihat aktivitas PPP dibawah kepemimpinan Ketum Suharso serasa memang agak berbeda akhir-akhir ini. konsolidasi terlaksana baik dan intens, kalau dilihat kegiatan-kegiatan Kepartaian pada periode ini lebih terukur dan terkordinasi dengan baik. Kegiatan lebih banyak penguatan untuk konsolidasi internal dibanding kegiatan-kegiatan yang kelihatan sibuk, berbiaya tinggi namun dampaknya bagi internal partai tidak begitu baik, berkaca pada hasil pemilu sebelumnyalah, gerakan dan geliat partai mencoba merubah arah dan gaya komunikasi politiknya menjadi seperti sekarang ini, jumlah kepengurusan DPP juga begitu ramping, Filosofinya adalah orang ramping akan mudah berlari kemcang.

Sepanjang sejarah berpartai, baru kali inilah PPP dalam menata organisasi dan membangun isu dan komunikasi politik menggunakan sebuah Konsultan Politik. Tak main-main, DPP menggandeng Kang Eep Syaifullah yang sudah punya segudang pengalaman dalam memenangkan kontestasi politik, meskipun efektivitas nya mesti kita uji dalam pemilu 2024 yang akan datang.

Dari peristiwa mukernas yang “melengserkan” ketua umum ini, Penulis malah berpikir, jangan-jangan lawan-lawan politik sudah mulai khawatir dengan gerakan -gerakan dan konsolidasi yang dilakukan PPP, lawan-lawan politik sudah mulai berhitung dengan eksistensi partai, sehingga perlu dilakukan “pelemahan” agar PPP menjadi partai yang akhirnya akan sibuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri, sehingga akan menjadi lemah dan lelah untuk menjadi “pemain” dalam dinamika percaturan politik besar yang sudah semakin dekat didepan mata.

Muncul begitu banyak pertanyaan dihati penulis, Ada apa dengan PPP? mengapa setiap menjelang pemilu para petinggi partai ini selalu berebut kaplingan, apakah rebutan ini akibat para pengurus yang serakah dan tamak ? atau para aktivis partai tak menyadari sedang terperangkap jebakan “batman” akibat tingginya eskalasi politik menjelang pemilu, apalagi saat ini PPP sudah menunjukkan tempat berdirinya berada pada koalisi bersama PAN dan Golkar, padahal selama ini PPP berada dalam koalisi bersama pemerintah.

Entahlah!! Hanya mereka yang tahu, para elit yang julid, yang tak tahu bagaimana sulit nya pengurus ditempat terpencil untuk terus bertahan mesti keadaaan semakin sulit, padahal belum kering keringat dan kelelahan akibat peristiwa perpecahan periode lalu, ditambah lagi terpaan badai tornado yang menghantam PPP berturut-turut .

Diawali dualisme kepemimpinan yang menyebabkan PPP tersandra demi Pengakuan Kepemimpinan yang diakui pemerintah, pilkada DKI dan Pilkada di beberapa daerah yang membawa panji Ka’bah hingga ke fakter tuak, lalu dilengkapi dengan tertangkapnya Romi di Sidoarjo menjelang pemilu dengan se jumlah uang recehan.

Semoga tulisan ini dapat menggugah hati para pihak yang sedang berada ditampuk kepemimpinan PPP untuk lebih memikirkan keutuhan Partai dibanding kepentingan pribadi, andaipun akhirnya tulisan ini tak bermanfaat, paling tida kita masih bisa saling menyumbang pemikiran demi menjaga keutuhan Partai Warisan Ulama ini.